Mencari Siasat Di Periode Perang Dagang
| Senin, 10 Juni 2019, 12:12 WIB
PEREKONOMIAN Indonesia yang sejatinya prospektif, harus memasuki dan menyikapi periode ketidakpastian global yang tereskalasi akibat potensi rusaknya sistem dan mekanisme perdagangan dunia, ekses dari perang dagang Amerika Serikat (AS) dengan Cina dan juga Meksiko. Tantangannya jelas bahwa Indonesia jangan sampai tidak berdaya karena perangkap ketidakpastian itu.
Maka, setelah selama belasan bulan perhatian masyarakat terfokus pada isu-isu politik seputar pemilihan presiden (Pilpres), sekarang adalah saatnya untuk melihat keluar, mengidentifikasi dan memahami tantangan riel apa saja yang harus disikapi dan disiasati bersama. Ternyata, persoalan riel yang harus dihadapi saat ini juga adalah dampak perang dagang AS versus Cina.
Kalau Indonesia tidak bersiasat dalam ketidakpastian itu, kinerja perekonomian akan memburuk. Agar kinerja perekonomian nasional tetap positif, Pemerintah dan seluruh komponen pelaku bisnis harus mencari dan merumuskan inisiatif baru untuk meminimalisir dampak perang dagang dua raksasa eknomi itu.
Mau tak mau, skala persoalan politik dalam negeri, utamanya ekses sengketa Pilpres, harus segera direduksi ke level yang serba konstitusional dan elegan. Jangan lagi ada pengerahan massa dan pengerahan perusuh. Dengan pendekatan dialogis di Mahkamah Konstitusi (MK), suasana kebangsaan akan kondusif, sehingga seluruh daya dan kekuatan nasional bisa diarahkan untuk fokus menghadapi tantangan riel di sektor ekonomi itu. Jangan lupa bahwa durasi ketidakpastian global itu belum dapat diprediksi, sehingga banyak negara dipaksa untuk tetap mewaspadai berbagai kemungkinan terburuk.
Perang dagang AS versus Cina yang sudah lama bergema kini bukan lagi berstatus ancaman. Tetapi, perang itu telah menjadi hal nyata pada bulan Juni 2019 ini. Hari-hari ini, AS telah menaikkan bea masuk impor berbagai produk Cina senilai 200 miliar dolar AS menjadi 25 persen dari sebelumnya yang 10 persen. Cina membalas dengan menaikkan bea masuk berbagai produk AS senilai 60 miliar dolar AS. Beberapa hari sebelum perang itu diimplementasi, Bank dunia telah merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia menjadi 2,6 persen dari sebelumnya 2,9 persen.
Revisi ini mencerminkan kedongkolan Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF) dan sejumlah pemimpin negara, termasuk Presiden Rusia Vladimir Putin serta Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres. Putin mengencam AS karena lebih mengedepankan egoisme ekonomi yang tidak terkendali, yang pada giliran berikutnya akan menyebabkan lahirnya lebih banyak konflik di dunia. Sementaran Sekjen PBB mengingatkan AS dan Cina agar tidak berlarut-larut dalam perang dagang itu guna mencegah tumbuhnya potensi ‘perang dingin’ baru.
Fakta itu pun tak luput dari perhatian pemerintah serta komunitas pengusaha. Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menko Perekonomian Darmin Nasution serta pengurus Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) sudah berbicara dan mengajak semua pihak untuk mencermati dan mewaspadai dampak perang dagang itu terhadap perekonomian nasional. Menkeu Sri Mulyani dan Menko Darmin mencatat bahwa kini risiko yang dihadapi lebih tinggi akibat perang dagang itu, dan pada gilirannya berpengaruh negatif terhadap kinerja ekspor Indonesia.
Per Juni 2019 ini, perang dagang itu bukan lagi ancaman, tetapi “Masuk masa implementasi ancaman itu," ujar Sri Mulyani, Rabu (5/6/). Indonesia akan merasakan dampaknya pada pelemahan kinerja ekspor mulai kuartal II tahun ini. Sampai kapan pelemahan kinerja ekspor itu akan berlangsung? Sulit untuk diprediksi, karena Presiden AS Donald Trump terus mengeskalasi tekanan terhadap Cina. Setelah memberi perlakuan buruk kepada Huawei, Trump kembali mengancam akan menekan China dengan menaikkan tarif tambahan untuk produk Cina senilai 300 miliar dolar AS lagi.
Tak berhenti sampai di situ, AS pun berencana menjual tank dan senjata ke Taiwan senilai lebih dari 2 miliar dolar AS. Negosiasi jual-beli itu masih berlangsung sebelum dibawa ke Kongres AS untuk mendapatkan persetujuan. Rencana ini dipastikan membuat Cina semakin marah, sehingga sulit untuk memprediksi durasi ketidakpastian sekarang ini. Rencananya, AS ingin menjual 108 unit M1A2 Abrams tank, plus amunisi anti pesawat dan amunisi anti tank. Niat Taiwan memperbarui armada tank menjadi alasan pembenaran rencana transaksi itu. Taiwan selama ini mengandalkan armada M60 Patton.
Modal dan PeluangDampak perang dagang itu bagi Indonesia sudah dikalkulasi, baik oleh pemerintah maupun para ekonom. Karena itu, langkah antisipatif pun telah coba dirumuskan. Bisa dipastikan bahwa kinerja ekspor akan melemah, sehingga defisit neraca perdagangan bisa berkepanjangan. Laju ekspor sejumlah komoditas unggulan Indonesia tidak akan mulus lagi. Salah satu komoditas unggulan yang terdampak adalah minyak kelapa sawit mentah atau CPO (crude palm oil) dan karet. Pada saat yang sama, ada potensi pasar Indonesia yang besar akan dibanjiri produk impor dari kedua negara. Misalnya, produk baja dari Cina. Pemerintah RI sudah mengantisipasi kemungkinan ini. Dampak ikutan lainnya adalah meningkatnya permintaan valuta asing akibat tingginya volume impor. Tingginya permintaan valuta asing berpotensi mendepresiasi rupiah.
Dari gambaran perkiraan ekses seperti itulah Indonesia harus bersiasat, agar ketidakpastian global itu tidak menimbulkan kerusakan serius. Untuk itu, negara harus kondusif. Apalagi, Indonesia memiliki modal dasar yang cukup mumpuni untuk menghadapi karut marut perdagangan global itu. Modal dasar itu bisa dieksploitasi untuk mempertebal daya tahan ekonomi nasional. Syarat utamanya adalah terjaganya stabilitas keamanan nasional, ketertiban umum dan terjaganya stabilitas politik.
Patut untuk dicatat bahwa saat perang tarif AS-Cina telah diimplementasi, Indonesia masih harus menyelesaikan sengketa Pilpres 2019. Sengketa Pilpres-nya sendiri adalah soal biasa. Tapi cara mengekspresikan sengketa, sebagaimana yang terjadi pada 21-22 Mei 2019, dirasakan terlalu ekstrim karena berpotensi merusak stabilitas keamanan dan ketertiban umum. Itu membuat suasana tidak kondusif, karena membuat masyarakat takut beraktivitas atau pergi ke kantor. Di kemudian hari, peristiwa serupa tak boleh berulang, karena masyarakat Indonesia harus fokus menyikapi tantangan riel di depan mata.
Indonesia sangat potensial menarik investasi asing. Pembangunan infrastruktur yang merata di semua daerah juga dapat merangsang investor lokal untuk berbisnis. Motor pertumbuhan lainnya adalah konsumsi masyarakat yang akan diupayakan tetap tinggi oleh pemerintah. Kepercayaan dan daya tarik Indonesia sebagai tujuan investasi itu setidaknya telah diumumkan oleh tiga lembaga pemeringkat internasional, yakni Standard and Poor's atau S&P Global Rating, Fitch Ratings dan Moody’s.
Pada akhir Mei 2019 misalnya, S&P Global Rating menaikkan peringkat kredit utang jangka panjang Indonesia atau sovereign credit rating Indonesia dari BBB- menjadi BBB dengan outlook atau prospek stabil. S&P juga menaikkan peringkat utang Indonesia jangka pendek menjadi A-2 dari A-3. Kenaikan peringkat ini mencerminkan prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia yang kuat dan dinamika kebijakan yang mendukung. Dengan terpilihnya kembali Presiden Joko Widodo (Jokowi), kecenderungan itu diharapkan berlanjut. Terlebih karena baik Moodys serta Fitch Ratings juga memberikan investment grade yang sama dengan S&P Global Rating.
Didukung stabilitas pertumbuhan ekonomi tahun sebelumnya, kenaikan peringkat itu menambah kekuatan pemerintah untuk mendorong lebih banyak realisasi investasi, baik domestik maupun asing. Para menteri ekonomi diharapkan tetap fokus pada pekerjaan di bidangnya masing-masing. Perubahan formasi menteri sebagai konsekuesi pembentukan kabinet baru pasca penetapan hasil Mahkamah Konstitusi 28 Juni 2019 mendatang ataupun pasca pelantikan presiden pada 20 Oktober 2019 mendatang, diharapkan tidak mengurangi semangat para menteri anggota Kabinet Kerja.
Bambang Soesatyo
Ketua DPR RI/Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia/Dewan Pakar KAHMI