RUU SDA Harus Banyak Akomodir SPAM
Laporan: | Rabu, 20 Maret 2019, 07:42 WIB
Intan Fauzi dan Mohamad Mova Al'Afghani /Dok
Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Pedesaan terancam tidak dapat melanjutkan pengelolaannya karena pengelolaan air berbasis masyarakat tidak dimasukkan ke dalam RUU Sumber Daya Air (SDA).
Dalam RUU SDA hanya menyebutkan yang boleh mengelola sumber daya air yakni Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Badan Usaha Milik Desa, swasta dan perorangan.
Pengamat dari Universitas Ibnu Khaldun, Mohamad Mova Al'Afghani mengatakan, RUU SDA sudah seharusnya lebih banyak mengakomodir SPAM. Sebab jika tidak, berpotensi menimbulkan polemik berkelanjutan.
"Nantinya terjadi pertentangan dipengelolaan. Yang ada masyarakat akan berbondong-bondong membuat sumur sendiri dan itu akan susah dikontrol," ujarnya dalam diskusi Forum legislasi bertema 'RUU SDA, Pro-Rakyat atau Pro-Bisnis' di Media Center DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (19/3).
SPAM Pedesaan, menurut dia, sesungguhnya bisa menjadi solusi penyediaan air bersih bagi seluruh masyarakat Indonesia dan mendukung target RPJMN, selain memanfaatkan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Terlebih saat ini SPAM Pedesaan mulai merambah lembaga keuangan. Pinjamannya pun terbilang kecil, yakni berkisar dari Rp 20 juta hingga Rp 70 juta yang digunakan untuk pengeboran sumur baru, konstruksi jaringan perpipaan, dan konstruksi rumah baru.
"Mereka sudah tidak lagi mengandalkan hibah. Mereka berkembang karena kebutuhan, maka jangan sampai SPAM Pedesaan ini tidak diatur pengelolaannya," ujarnya.
Ia mencatat, sejauh ini total 38 SPAM Pedesaan yang sudah berhasil mengembangkan kapasitasnya melalui pinjaman bank. Dari 12.253 SPAM Perdesaan yang ada, sekitar 1.200 sudah menyatakan minatnya.
Untuk mendapatkan pinjaman dari bank ini, SPAM Pedesaan nantinya mendapat bantuan berupa penyusunan rencana bisnis sehingga
feasible."Bank pun sekarang mulai melirik ini karena
sense of belonging yang dimiliki membuat SPAM Perdesaan memiliki nilai bisnis," kata Mova.
Ia menekankan, jangan sampai alokasi untuk kebutuhan dasar manusia atas air kalah dari kebutuhan lain seperti pertanian dan peternakan.
"Di RUU alokasi SPAM justru di bawah kebutuhan lainnya dan ini tidak sesuai dengan enam prinsip putusan Mahkamah Konstitusi," tuturnya.
Menurut dia, draf RUU SDA yang diinisiasi DPR juga masih karut marut. Salah satunya karena masih mencampuradukkan definisi soal air bersih dan air minum dalam kemasan (AMDK).
Hal ini justru dinilainya melembagakan ketergantungan masyarakat terhadap AMDK dan mengesampingkan tanggung jawab negara atas pemenuhan akses air melalui SPAM.