Analis menyoroti pengaruh transisi energi, dinamika geopolitik, dan perubahan kebijakan di berbagai negara yang membentuk prospek sektor ini.
Sepanjang tahun 2024, harga kontrak berjangka batu bara Newcastle tercatat turun 8,73 persen secara
year to date (YtD), mencapai 125 Dolar AS (Rp2 juta) per ton pada akhir tahun.
Penurunan ini didorong oleh lemahnya permintaan dari China akibat perlambatan ekonomi dan sektor manufaktur, serta peralihan Eropa ke energi terbarukan. Selain itu, komitmen India terhadap pengembangan energi terbarukan diyakini ikut menekan konsumsi batu bara.
Peningkatan produksi domestik di China telah memperburuk kondisi kelebihan pasokan. Sementara pelemahan aktivitas industri di Amerika Serikat (AS) dan Eropa semakin mengurangi permintaan global.
Menurut riset RHB Sekuritas pada 20 Desember 2024, harga batu bara acuan diperkirakan turun menjadi 120 Dolar AS (Rp1,9 juta) per ton pada 2025, lebih rendah dibandingkan proyeksi 2024 sebesar 135 Dolar AS (Rp2,1 juta) per ton.
Meski demikian, margin perusahaan tambang diprediksi tetap bertahan. Permintaan batu bara global diperkirakan stabil, didukung kebutuhan dari India dan negara-negara ASEAN.
Namun, peningkatan pasokan dari energi alternatif seperti gas alam diproyeksikan memberikan tekanan tambahan pada harga.
Laporan Market Outlook 2025 dari OCBC Sekuritas memperkirakan penurunan permintaan batu bara global sebesar 0,3 persen pada 2025, berdasarkan data International Energy Agency (IEA).
India dan negara-negara ASEAN diproyeksikan menjadi penopang utama konsumsi batu bara, di tengah melemahnya permintaan dari Tiongkok dan negara maju.
Sementara itu, Australia berencana memangkas ekspor batu bara termal dan metalurgi pada 2025-2026, sehingga memperketat pasokan.
Dengan kombinasi pasokan yang stagnan dan permintaan yang menurun, harga batu bara Newcastle diprediksi berkisar antara 100 Dolar AS hingga 110 Dolar AS per ton, lebih rendah dari rata-rata 135,9 Dolar AS per ton pada 2024.
BERITA TERKAIT: