"Ketika sudah disertifikasi dan sudah mendapatkan SNI artinya ketika konsumen membeli produk maka sudah bisa dikatakan aman untuk dikonsumsi," kata Direktur Pengembangan Standar Agro, Kimia, Kesehatan dan Penilaian Kesesuaian BSN, Heru Suseno, dalam diskusi bertajuk Standarisasi Kemasan dan Jaminan AMDK galon Polikarbonat belum lama ini.
Heru menjelaskan bahwa standardisasi yang diterapkan pemerintah dan otoritas terkait berpaku pada 3 hal, yakni perlindungan masyarakat, jaminan mutu dan efisiensi, hingga persaingan usaha yang sehat.
Heru menegaskan, 3 pegangan ini secara simultan harus ditekan dalam penerapan standardisasi nasional. Dia melanjutkan, tujuannya demi kesejahteraan seluruh rakyat dalam konteks pelaku usaha hingga masyarakat sebagai konsumen.
Lebih lanjut Heru menjelaskan, perumusan standardisasi nasional Indonesia (SNI) dilakukan mulai dari perencanaan, perumusan, penetapan hingga pemeliharaan. Dia menambahkan, standardisasi ini juga melibatkan multipihak agar berjalan dengan maksimal dan menjamin kualitas produk yang dihasilkan.
Heru menegaskan, sertifikasi ini wajib diikuti oleh pelaku usaha dan semua pihak demi kepentingan keselamatan, keamanan, kesehatan atau pelestarian fungsi lingkungan hidup. Artinya, pemerintah dan BSN menjamin bahwa produk yang mendapatkan SNI aman untuk dikonsumsi, termasuk Air Minum Dalam Kemasan(AMDK).
"Galon polikarbonat ini sudah mendapatkan SNI jadi sudah pasti aman," jelas Heru melalui keterangannya, Minggu, 22 Desember 2024.
Sementara itu, Analis Kebijakan Ahli Muda Direktorat Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kemenperin, Okky Krisna Rachman menambahkan, semua jenis produk AMDK wajib mengikuti SNI. Selain SNI, industri AMDK juga diatur soal pengendalian air baku, pengendalian produksi, hingga pengendalian kemasan pangan.
Setiap poin tersebut memiliki regulasi masing-masing guna menjamin kesehatan dan kualitas produk. Lalu semua industri AMDK juga diwajibkan melakukan pengujian produk ke ?Lembaga ?Sertifikasi ?Produk (LSPro) di laboratorium uji.
"Jadi pengendalian air baku juga sudah diatur oleh Kemenperin. Air baku mutu ini juga sudah terjamin secara kualitas dan undang-undang," tutur Okky.
Jaminan keamanan serupa juga diutarakan melalui hasil riset yang dilakukan Universitas Islam Makassar (UIM). Lembaga civitas akademika itu melakukan penelitian untuk membuktikan kebenaran migrasi BPA dari galon polikarbonat ke dalam air.
Ketua Program Studi Kimia UIM sekaligus anggota peneliti, Endah Dwijayanti mengungkapkan, tidak ada migrasi BPA yang terjadi dari galon polikarbonat ke dalam air minum. Penelitian ini membantah dugaan migrasi BPA yang diembuskan oleh pihak tertentu.
Penelitian ini, lanjut Endah, dilakukan di lima kota di Sulawesi Selatan dengan memilih secara acak galon polikarbonat yang sering jumpai di publik. Penelitian dilakukan terhadap galon yang terjemur di matahari langsung dan yang disimpan di gudang.
Endah menjelaskan, riset tidak mendapati adanya struktur molekul BPA di dalam air galon polikarbonat. Artinya, tidak ada migrasi BPA dari kemasan galon polikarbonat ke dalam air minum.
"Strukturnya saja enggak kebaca apalagi zatnya itu tidak ditemukan dari kedua galon yang dijemur atau tidak," ungkap Endah.
Anggota Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI), Hermawan Seftiono ikut menjelaskan, bahwa galon dan BPA merupakan dua produk yang berbeda. Dia menjelaskan, BPA merupakan senyawa pembentuk galon polikarbonat.
Menurut Hermawan, BPA memang zat berbahaya apabila berdiri sendiri. Namun, sambung dia, reaksi polimerisasi antara BPA dengan fosgen (karbonil diklorida) menjadi senyawa polikarbonat menghilangkan bahaya yang dimiliki BPA.
"Nah ketika menjadi senyawa polikarbonat seharusnya produksi polimer ini menjadi aman. Artinya, kemasan produk galon aman digunakan untuk AMDK," kata Hermawan.
Hermawan mengatakan, tidak ?ada laporan di Eropa yang pernah menyebutkan ada seseorang yang sakit karena mengkonsumsi air dari galon polikarbonat. Artinya, kemasan galon polikarbonat dan tutupnya aman digunakan untuk produk AMDK.
"Belum ada juga kasus di Indonesia dan di luar negeri juga terkena penyakit dari kandungan BPA ini," paparnya.
Hermawan menyebut, memang penggunaan BPA pada botol bayi sudah dilarang sejak lama di Eropa. Dia mengatakan, hal ini berkaitan dengan berat dan daya tahan tubuh bayi yang belum sebaik orang dewasa.
Kepala Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan Universitas Trilogi ini melanjutkan, sebenarnya kalaupun ada BPA yang masuk ke dalam tubuh akan dimetabolisme oleh hati dan selanjutnya dikeluarkan melalui urine. Di negara manapun mengonsumsi air dari galon polikarbonat dinyatakan aman di tidak menyebabkan masalah kesehatan.
"Saya juga sudah pakai galon. Di rumah polikarbonat, di kantor PET, dan sampai sekarang aman-aman saja enggak ada masalah," katanya.
Di sisi lain, Hermawan mengaku heran bahwa di Indonesia masalah BPA hanya fokus pada galon polikarbonat. Dia melanjutkan, padahal kandungan BPA terdapat di berbagai macam barang dan kemasan pangan.
Seperti kaleng misalnya yang menunjukkan migrasi BPA tertinggi meskipun masih dalam batas aman. Dia mengungkapkan, bahkan di Eropa juga tidak ada laporan orang sakit setelah mengonsumsi air dari galon atau laporan migrasi BPA dari galon karena pengaruh panas
"Saya juga heran kenapa di sini hanya ramai pada galon saja. Kalau penelitian di Eropa itu fokus ke beberapa kemasan yang mengandung BPA dan kadar masih terbilang rendah. Nah makanya ini saya juga heran aja tiba-tiba saja muncul," pungkasnya.
BERITA TERKAIT: