Ketua ASDAMINDO Erik Garnadi menekankan, hal tersebut dilakukan dengan cara mengajukan Sertifikasi Laik Hygiene dan Sanitasi (SLHS).
"Himbauan kami kepada para pelaku usaha DAM terkhusus di Provinsi Jawa Timur ini salah satunya adalah selalu mengujikan kualitas air minum baik secara fisika, kimia dan bakteriologinya di labkes yang sudah terakreditasi," kata Erik Garnadi di Surabaya, dikutip Rabu 13 November 2024.
Para pelaku usaha DAM diminta untuk terus merawat depot dengan mengganti berkala media filter cartridge ultraviolet dan mengikuti aturan yang ada tentang DAM.
Mereka juga diminta untuk merealisasikan Permenkes nomor 43 tahun 2014 yang sudah diganti menjadi Permenkes nomor 2 tahun 2023 tentang lingkungan hidup, kesehatan lingkungan dengan segera mengurus legalitas depot diantaranya ada izin usaha melalui OSS.id yaitu nomor induk berusaha atau NIB KBLI 11052.
"Jangan merasa usaha Depot air minum ini aman dikonsumsi dan tidak bermasalah tanpa mengujikan kualitas air minumnya secara berkala di laboratorium kesehatan baik fisika, kimia, bakteriologinya," kata Erik.
Kepala Dinas PU Cipta Karya Jawa Timur, I Nyoman Gunadi, mengatakan pemerintah ingin agar masyarakat dapat mengonsumsi air yang aman dan layak.
Menurutnya, keberadaan DAM bisa mengisi kekurangan yang belum bisa disediakan pemerintah daerah saat ini. Ia mengungkapkan, kualitas air menjadi hal yang perlu diutamakan mengingat saat ini sanitasi di Indonesia sedang tidak baik-baik.
"Air minum aman adalah akses terhadap sumber air minum yang memenuhi syarat kualitas, kuantitas, kontinuitas, keterjangkauan, bebas dari kontaminasi bakteri dan bahan Kimia, serta dikelola secara aman," katanya.
Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan Indonesia (ASPADIN) Rachmat Hidayat menjelaskan beberapa aspek perbedaan industri air minum dalam kemasan (AMDK) dan DAM.
Pertama, dari sisi regulasi AMDK harus memenuhi 11 peraturan sementara DAM hanya 1 ketentuan.
"Nah jumlah regulasi ini yang membedakan industri AMDK dan depot air minum. Industri AMDK itu dikontrol oleh pemerintah dari sisi paling hulu sampai sisi paling hilir," kata Rachmat.
Kedua, industri tersebut juga memiliki perbedaan dalam aspek operasional. Industri DAM hanya boleh mengisi produknya di depan konsumen dalam wadah yang mereka bawa atau disediakan depo.
Dalam kesempatan yang sama, Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) meminta pelaku usaha DAM memberikan perhatian khusus dan juga penghargaan terhadap merek yang mungkin dimiliki oleh pihak pihak lain.
MIAP mengingatkan potensi permasalahan hukum apabila pelaku usaha DAM menyetok air dalam galon milik produk tertentu. Meskipun, pelaku usaha DAM tidak dilarang mengisi galon apa pun yang dibawa konsumen.
"Ketika kita menyetok 5 atau 10 galon atau bahkan ada yang menyuplai ke tempat lain, itu ada potensi permasalahan baik dari undang-undang merek, perlindungan konsumen bahkan bisa jadi pidana umum biasa," kata Koordinator MIAP, Justisiari P. Kusumah.
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 651/MPP/Kep/10/2004 Bab IV pasal 7 mengenai Wadah, menyebutkan;
Depot Air Minum hanya diperbolehkan menjual produknya secara langsung kepada konsumen di lokasi Depot dengan cara mengisi wadah yang dibawa oleh konsumen atau disediakan Depot.
Kemudian, Depot Air Minum dilarang memiliki "stok" produk air minum dalam wadah yang siap dijual. Selanjutnya, Depot Air Minum hanya diperbolehkan menyediakan wadah tidak bermerek atau wadah polos.
Depot Air Minum wajib memeriksa wadah yang dibawa oleh konsumen dan dilarang mengisi wadah yang tidak layak pakai.
Depot Air Minum harus melakukan pembilasan dan atau pencucian dan atau sanitasi wadah dan dilakukan dengan cara yang benar.
Tutup wadah yang disediakan oleh Depot Air Minum harus polos/tidak bermerek. Terakhir, Depot Air Minum tidak diperbolehkan memasang segel/"shrink wrap" pada wadah.
Justisiari meminta pelaku usaha waspada jangan sampai melakukan pelanggaran hukum tersebut. Karena, ada resiko gugatan hukum dan ganti rugi atau bahkan permintaan untuk menghentikan kegiatan bisnis.
Sementara itu, Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Jawa Timur, Selvi Dwi Anggraini menekankan pentingnya kualitas air minum. Menurutnya, edukasi akan pentingnya menjaga kualitas air minum harus dilakukan kepada konsumen dan para pelaku usaha, termasuk DAM.
"Kalau masyarakatnya itu belum paham itu dimulai dari Anda (pelaku usaha) dulu ya, artinya Anda sudah memberikan pelayanan yang berkualitas, baik dari sisi internal maupun dari sisi eksternal," kata Dwi.
Fungsional Pembina Industri pada Direktorat IKM Pangan, Furniture dan Bahan Bangunan Kementerian Perindustrian Wahyu Fitrianto menekankan, setiap pelaku usaha DAM sebenarnya diwajibkan memiliki SLHS. Dia menjelaskan, regulasi ini membuat usaha DAM tidak perlu mengikuti banyak aturan seperti industri AMDK.
"Tapi memang punya keterbatasan karena tidak bisa mengedarkan produknya seluas AMDK karena memang model bisnisnya diizinkannya tidak melayani pengisian di lokasi begitu, karena konsumen datang, bawa wadah, kita isi, lalu transaksi ada di sana," katanya.
Berdasarkan data kementerian kesehatan, dari 80 ribuan jumlah DAM di Indonesia, sudah 56 ribu yang dinyatakan layak hygiene sanitasi. Sayangnya, dari yang dinyatakan layak higiene sanitasi ke SLHS itu cukup rendah.
Sementara untuk Jawa Timur, ada sekitar 7500 dari 8000 DAM dinyatakan layak hygiene sanitasi. Namun, lagi-lagi dari 7500 DAM itu yang memiliki SLHS cukup rendah yakni baru 374.
"Padahal kan layak higiene sanitasi ini sudah layak dapat SLHS nih, cuman kenapa kok konversinya begitu rendah tentunya ini pasti ada kesulitan nih di teman-teman pelaku usaha nah ini yang menjadi concern kami," katanya.
Wahyu mengatakan, padahal konsumen DAM sangat besar. Data Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat sebesar 31,87 persen penduduk Indonesia menggunakan air minum isi ulang sebagai sumber utama air minum atau sepertiga penduduk Indonesia.
BERITA TERKAIT: