Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Survei DFW Indonesia, Implementasi Kebijakan PIT Diragukan

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/adityo-nugroho-1'>ADITYO NUGROHO</a>
LAPORAN: ADITYO NUGROHO
  • Rabu, 22 November 2023, 21:18 WIB
Survei DFW Indonesia, Implementasi Kebijakan PIT Diragukan
Ilustrasi Foto/Net
rmol news logo Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia bersama Ocean Solutions Indonesia (OSI) dan Universitas Teknologi Muhammadiyah (UTM) melakukan survei terkait respons stakeholder perikanan terhadap kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT).

DFW Indonesia menyebut PIT dalam pelaksanaannya,butuh kesiapan infrastruktur, birokrasi, dan sumber daya manusia. Ketika digali lebih lanjut bagaimana persepsi responden terhadap kesiapan pelaksanaan PIT, sebagian besar responden melihat kesiapan SDM menjadi tantangan utama dalam pelaksanaan PIT disertai juga dengan kejelasan informasi mengenai PIT.

“Permasalahan ini tentunya tidak dapat dilepaskan dari kurang efektifnya sosialisasi dan petugas yang diberikan pemahaman PIT masih terbatas dan seringkali ditemukan berbeda-beda penjelasan. Apabila petugas sendiri tidak mengerti PIT secara menyeluruh, tentu saja akan berdampak pada kualitas implementasi,” kata peneliti DFW Indonesia, Felicia Nugroho dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (22/11).

Survei dibagikan dalam jaringan pada tanggal 11 Oktober sampai dengan 4 November dengan total 202 responden di 14 provinsi di Indonesia. Responden didominasi oleh pelaku usaha perikanan (28 persen), disusul oleh awak kapal perikanan (20 persen) dan nelayan skala kecil (19 persen). Berdasarkan domisili, pengisi survei paling banyak berada di Sulawesi Utara (23,88 persen), Maluku (15,42 persen), dan Sulawesi Tenggara (12,99 persen) dengan wilayah tangkapan di zona 3 (43 persen) dan zona 2 (21 persen).

Lanjut Felicia, salah satu mekanisme dalam implementasi PIT adalah aplikasi E-PIT, dimana kapten kapal akan memasukan data mengenai jumlah tangkapan untuk secara langsung mengetahui besaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang harus dibayarkan kepada negara. Namun, sebanyak 36,7 persen mengaku belum mengetahui aplikasi E-PIT.

“Tantangan selanjutnya menurut responden dari survei ini adalah ketidaksiapan infrastruktur seperti lokasi timbangan atau pendaratan ikan dapat berpotensi merusak kualitas ikan karena harus terpapar oleh sinar matahari. Beberapa responden juga mendeskripsikan proses bongkar-muat ikan menjadi lebih lama yang akan berimbas kepada waktu tunggu awak kapal dan parkir kapal yang lebih lama,” jelasnya.
 
Dengan segala keterbatasan dan kekurangan, responden survei menganggap permasalahan yang paling penting untuk diantisipasi adalah adanya konflik antara nelayan lokal dengan perusahaan asing. Hal ini ditengarai merupakan implikasi pembagian zonasi industri dan zonasi nelayan, dimana wilayah nelayan tradisional hanya sebatas 12 mil, serta migrasi perizinan dari daerah ke pusat.

“Potensi permasalah selanjutnya adalah konflik antar nelayan, dan kekhawatiran akan disalahgunakannya kuota tangkapan. Saat ini, pemerintah belum menetapkan aturan tentang mekanisme pembagian kuota,” ungkap dia.

Namun, lanjut Felicia, dengan tidak adanya keterlibatan nelayan tradisional dalam pembuatan kebijakan ini tentu saja tidak berlebihan jika kuota dikhawatirkan hanya akan dikuasai oleh sekelompok kecil pengusaha saja.

“Dalam kata lain, oligarki laut akan berkembang dan berkonsolidasi. Jika tidak dilakukan secara transparan dan akuntabel, kuota juga dapat menjadi sarang perburuan rente,” tegasnya.

Pertanyaan terbuka diberikan pada responden mengenai saran dan rekomendasi dalam apabila kebijakan PIT ini tetap dilaksanakan pada tahun 2024.

Terkait itu, DFW Indonesia mengeluarkan enam rekomendasi yang dapat disimpulkan. Felicia berharap dapat membantu pemerintah dalam memastikan efektivitas dan kesejahteraan nelayan melalui pelaksanaan PIT.

“Pertama, perlunya sosialisasi pemerintah yang menyasar nelayan terkait pelaksanaan aturan PIT, baik penerapan kuota, e-PIT, dan PNBP pasca produksi. Kedua, memastikan kejelasan penjelasan kebijakan yang diberikan petugas di lapangan untuk implementasi serta keadilan mengenai pembagian kuota tangkapan,” bebernya.

Ketiga, sambung dia, responden menghendaki penyederhanaan proses perizinan dan administrasi serta memberi kewenangan kepada PPS di daerah untuk pelaksanaan PIT.

Keempat, pemerintah disarankan untuk memastikan kesiapan petugas, anggaran dan infrastruktur sebelum memberlakukan PIT di 171 pelabuhan sasaran kebijakan PIT. Selain itu perlu pengawasan yang jujur dan transparan dalam timbangan di pelabuhan.

“Kelima, pemberian perlindungan kepada nelayan skala kecil dari kapal asing atau investor yang beraktifitas tangkap skala besar yang merugikan sumber daya ikan dan lingkungan. Dan keenam, perlunya kajian kesiapan dan kemungkinan penundaan pelaksanaan jika diperlukan,” bebernya lagi.

Berdasarkan hasil jajak pendapat cepat dari DFW Indonesia, Ocean Solutions Indonesia, dan Universitas Teknologi Muhammadiyah Jakarta,  pelaksanaan kebijakan PIT ini masih jauh dari siap untuk dilaksanakan pada tahun 2024.

“Beberapa infrastruktur dan kesiapan pemahaman pelaksana diragukan untuk siap diimplementasikan di 171 pelabuhan di Indonesia. Studi persepsi masyarakat mengenai PIT ini telah menggambarkan ketidakpuasan terhadap kebijakan PIT dimana banyak  kritik dan potensi dampak kerugian yang akan dirasakan bagi nelayan kecil dan tradisional,” urai Felicia.

“PIT yang dianggap lebih menguntungkan korporasi dan modal asing daripada nelayan lokal yang mana aktivitas tangkap skala besar justru mengeksploitasi sumber daya ikan dan adanya potensi kerusakan lingkungan,” tandasnya. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA