Begitu dikatakan pengamat kebijakan publik, Danang Girindrawardana kepada
Kantor Berita Politik RMOL, Senin (24/12).
Menurut Danang, ada dua UU yang dilanggar. Pertama, UU 25/2009 tentang Pelayanan Publik yang mengamanatkan kepala daerah tidak boleh merangkap jabatan. Kedua, UU 23/2014 tentang Pemerintah Daerah yang melarang kepala daerah merangkap jabatan.
"Dan lebih konyol lagi, yang dirangkap jabatannya ini adalah satu lembaga negara namanya BP Batam, dilahirkan oleh UU, mitranya Komisi VI DPR. Dan yang diarahkan satu lagi, adalah kepala daerah, setingkat UU juga, pejabat daerah oleh UU Daerah ya
kan," kata Danang.
Dari segi struktur anggaran juga tidak mungkin disatukan. Pemkot dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) sedangkan BP Batam bersumber Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
"Ini satu mekanisme yang sangat
bad practices kalau ini terjadi," ujar Danang.
Danang berharap, kebijakan ini jangan buru-buru diterapkan. Semestinya, kata dia, dilakukan riset dahulu terhadap instrumen peraturannya, baru kemudian keputusan melebur BP Batam ke dalam Pemkot Batam.
"Ini masih
statement, ini masih
press release oleh Menko Perekonomian, tapi kami
pingin dikaji lagi," jelas Danang.
Terbolak baliknya paradigma berfikir ini, lanjut Danang, membuat semua dunia usaha resah.
"Saat ini resah dan inilah yang terjadi selama tiga tahun terakhir di Batam sehingga pertumbuhan ekonominya jeblok. Keresahan para pengusaha ini membuat mereka
wait and see, membuat mereka tidak ekspansi, membuat mereka merelokasi, menutup usahanya. Situasi dan kondisi itukan muncul tetapi tidak banyak dipublikasikan," tuturnya.
Danang mencurigai ada
grand design memunculkan skenario ini untuk ‘menenggelamkan’ atau melemahkan Batam. Hal itu terlihat dengan jelas oleh publik maupun para investor.
"Ada kekhawatiran rencana kebijakan untuk menggabungan antara pimpinan BP Batam menjadi
ex officio kepala daerah Kota Batam itu justru menjadi bagian akhir dari upaya pelemahan Batam hingga saat ini," tegas Danang.
Catatan dia, begitu banyak serial produk kebijakan pemerintah yang mereduksi semakin kecil peranan BP Batam itu. Dulu Otorita Batam dengan kewenangan yang besar kemudian menjadi BP Batam. Selain itu perubahan dari Free Trade Zone (FTZ) menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Sekarang muncul pemkiran untuk meleburkan pimpinan BP Batam
ex officio kepala daerah Kota Batam.
Lantas apa dampak perubahan ini?
"Otomatis kalau Batam menjadi daerah otonom biasa, maka tidak akan mencapai tujuan atau misi Batam sebagai lokomotif kemajuan pertumbuhan ekonomi di Indonesia," jelas Danang.
Bahkan menurut Danang, Batam menjadi tidak istimewa lagi.
"Kemampuan kita untuk mempreteli keistimewaan itu terlihat jelas dari periode pemerintahan sejak dari 15 tahun yang lalu sampai dengan saat ini. Di mana suatu saat yang dekat nanti, Batam sudah menjadi sebuah daerah otonom biasa yang tidak ada bedanya dengan daerah lain di Indonesia," ujarnya.
“Jadi implementasi otorita melalui pemikiran otonomi asimetris sudah hilang dari Indonesia. Karena sat- satunya daerah dengan ekonomi simetris itu ada di Batam. Selain satu daerah lagi yang memiliki kawasan otorita itu ada di Sabang," jelas Danang mengingatkan.
Sejak terbentuknya Otorita Batam hingga tahun 2016, Batam selalu menempati lima tertinggi di Indonesia. Malah pernah menjadi nomer 2 dan 3 setelah DKI Jakarta. Tapi di tahun 2016 karena masalah ekonomi global yang juga berdampak ke Indonesia sehingga sampai tahun 2017, tingkat pertumbuhan Batam cuma 2,1 persen.
Danang menilai keputusan yang diambil Kepala BP Batam, Lukita sudah sangat tepat dengan menunda beberapa proyek berskala nasional yang cukup besar. Sambil menunggu status kelembagaannya yang belum jelas.
"Karena kalau beliau memutuskan sekarang dan tiba-tiba diambil alih oleh entitas lembaga lain atau pejabat politik lain, maka pertanggungjawabnya akan ada di pundak Kepala BP Batam. Kepala BP Batam tidak bisa mengkontrol perjalanannya pembangunnya," papar Danang.
[wid]