Dengan kebijakan ini, memungkinan penanaman modal dapat dikuasai asing 100 persen di sektor-sektor tersebut. Tahun 2016 lalu, relaksasi DNI menyasar 41 bidang usaha. Jika disetujui melalui Peraturan Presiden maka total 95 bidang usaha yang dibuka bagi kepemilikan 100 persen asing.
Revisi DNI 2018, baru 25 bidang usaha yang mendapat persetujuan kementerian atau lembaga terkait. Salah satunya pada sektor Usaha Mikro Kecil Menengah dan Koperasi (UMKM-K).
DPP Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) tegas menolak kebijakan relaksasi DNI pada Paket Ekonomi yang ke-XVI.
"Relaksasi 25 Daftar Negatif Investasi (DNI) yang merupakan bidang usaha yang dijalankan oleh pelaku usaha UKM tidak semestinya dibuka 100 persen untuk asing," ujar Ketua Umum DPP HIPPI, Suryani SF. Motik melalui siaran pers yang diterima redaksi, siang ini (Rabu, 21/11).
Menurut dia, pemerintah seharusnya hadir dengan melakukan pendampingan, pembinaan dan
perlindungan dalam bidang usaha tersebut sehingga bisa berkembang, bukan
diserahkan ke asing
"Bisa dibayangkan apabila warung internet (warnet) dan bisnis yang bisa dijalankan UMKM diserahkan dan dibuka 100 persen untuk asing, maka pelaku UMKM kita akan hanya jadi karyawan bahkan penonton," kritiknya.
Langkah pemerintah membuka keran asing tidak mendorong semangat wirausaha UMKM-K.
"UMKM kita tidak mampu bersaing, tidak
apple to apple tentu mereka pasti memiliki modal yang lebih kuat, SDM yang lebih mumpuni, penguasaan teknologi yang lebih canggih dan jaringan pemasaran yang lebih luas," paparnya.
Suryani membandingkan, aturan usaha di Tiongkok diwajibkan 51 persen modal dipegang pengusaha lokal.
"Asing boleh masuk namun harus
joint venture itu yang ideal di mana Apple lewat Foxcon membuka pabrik di China," imbuhnya.
Ia berharap kebijakan relaksasi tersebut direvisi sehingga tidak merugikan pelaku UMKM-K di masa yang akan datang. Terlebih sektor ini bentuk investasinya relatif kecil.
"Seharusnya pemerintah fokus pada sektor yang investasinya memberikan dampak makro secara signifikan, seperti mengurangi defisit transaksi berjalan dan penguatan nilai tukar rupiah," terangnya.
[wid]
BERITA TERKAIT: