BUMN Predator Rakyat

Minggu, 18 November 2018, 11:33 WIB
BUMN Predator Rakyat
Lestyo Sasono Wijito/Silabna
NEGARA semakin terpuruk. Karena itulah Lintas Komunikasi Alumni Jerman (Linkom Aljer) mengambil inisiatif untuk gelar berbagai diskusi dan seminar baik di level nasional maupun internasional.

Jumat sore (16/11), para lulusan Jerman berkumpul bahas masalah bangsa di Hotel Sare, Jalan Sultan Hasanudin No 46, Blok M, Jakarta Selatan.

Tepat pukul 14.30, seminar dengan topik "Masalah Kesenjangan Sosial-Ekonomi" dimulai dengan puluhan peserta yang memenuhi ruangan pertemuan berukuran sekitar 200 meter. Seminar tersebut bisa dikatakan sebagai pertemuan terbatas untuk memberikan solusi bangsa yang dihadiri para alumni Jerman.

Meski baru dibentuk beberapa waktu lalu, Linkom Aljer melakukan gebrakan tersendiri. Komunitas ini ingin berperan sebagai think-thank (wadah pemikiran) dengan mengoptimalkan jaringan akademisi, khususnya di kalangan lulusan Jerman, melalui seminar dan diskusi-diskusi.

Harus diakui Linkom Aljer terbentuk berangkat dari kepeduliannya atas nasib bangsa yang kian terpuruk. Terkhusus dalam kaitannya dengan kesenjangan ekonomi akibat ketidakadilan karena tidak dilaksanakannya Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.

"Khususnya sila kelima Pancasila dan Pasal 33 UUD 45 yang disahkan pada 18 Agustus 1945, menegaskan perekonomian berasaskan kekeluargaan dan cabang-cabang produksi yang terkait hajat hidup orang banyak harus dikuasai negara," jelas Solehudin Irawan Togubu selaku Sekjen Linkom Aljer.

Karena itulah Linkom Aljer menilai visi mereka dapat terimplementasi melalui pasangan capres-cawapres, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno.

Menurut Irawan, langkah ini ditempuh memang karena tuntutan kondisi yang sangat mendesak sehingga harus berani mewacanakan masalah bangsa dan mendiskusikannya mencarikan solusi. Di sinilah langkah yang ingin diperankan Linkom Aljer di negeri ini.

Dalam diskusi "Masalah Kesenjangan Sosial-Ekonomi", Lestyo Sasono Wijito, mantan konsul di Sabah, Malaysia, mengulas fenomena Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia yang menurutnya cukup tragis. Dari satu sisi, TKI disebut pahlawan devisa, tapi secara korporasi sangat menyedihkan.

Berdasarkan laporan lapangan yang disampaikan lulusan Jerman tersebut, kebanyakan TKI di Indonesia bekerja di kelapa sawit. Di Malaysia, pekerja asal Indonesia bisa dikatakan menjadi idola karena kepiawaiannya di bidang perkebunan kelapa sawit.

Namun kondisi tersebut bukan berarti TKI di Malaysia dimanjakan, tapi fakta di lapangan malah mengenaskan. Menurut keterangan mantan konsul Indonesia di Sabah, perlindungan  terhadap TKI sangat minim. Yang lebih mengenaskan lagi, banyak TKI ilegal. Bahkan jumlah persisnya pun tak dapat terdeteksi. "Terkait jumlah TKI ilegal di Indonesia, hanya Tuhan yang tahu," jelas Lestyo di hadapan para anggota Linkom Aljer.

Yang lebih parah lagi, TKI ilegal di Malaysia berkeluarga dan status keturunannya pun ikut kondisi orang tuanya sebagai ilegal. Masalah TKI di Negeri Jiran kian menumpuk.

Karena itu, sekitar enam tahun lalu didirikan sekolah khusus untuk TKI. Pada awal pendirian sempat terkendala karena pemerintah Malaysia terkesan masih setengah hati.

Menariknya, prestasi anak-anak TKI terbilang bagus, bahkan sampai bisa lanjut ke pusat-pusat pendidikan luar negeri. Sebagian dari mereka juga lanjut ke sekolah-sekolah di Indonesia.

Lestyo menyimpulkan pendidikan sebagai sarana ideal untuk mengentaskan kemiskinan. Pendidikan di sini tentunya bukan melulu pendidikan formal. "Melalui pendidikan,  bangsa ini bisa terlepas dari mental budak," tegas mantan konsul di Sabah, Malaysia.

Dalam kesempatan tersebut, Lestyo menyoal peran Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sejauh ini, sistem masih belum bisa menjawab invisible aset (aset yang tak terlihat). Yang lebih parah lagi, BUMN malah berkesan sebagai predator.

Alih-alih menuntaskan kemiskinan, BUMN malah mengancam ekonomi rakyat. Inilah yang dimaksud Predator. Meski ada CSR di setiap perusahaan, tapi tanggung jawab sosial pada perusahaan sejauh ini malah berkesan basa-basi atau lipstik semata.

Di penghujung presentasinya, Lestyo menjelaskan, pengentasan kemiskinan tidak optimal karena tidak adanya GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara). Kevakuman ini lah yang  membuat negeri ini kehilangan alat ukur kinerja sehingga arah ekonomi terjebak pada kubangan disorientasi.

Hasil dari carut marut ini; rakyat pun jadi sapi perah. Bukan dilayani tapi rakyat menjadi korban eksploitasi dari hari ke hari. Padahal perekonomian bangsa Indonesia sesuai Pasal 33 UUD 45 harus berdasarkan kekeluargaan.

Pasal 33 juga menegaskan bahwa negara harus menjaga aset yang berkaitan dengan hajat orang banyak. Dengan demikian, rakyat harus diposisikan sebagai pemilik saham terbesar di negeri ini. Konsekuensinya harus dilayani, bukan diperas. Miris![***]


Alireza Alatas

Pembela Ulama dan NKRI, Aktivis Silaturahmi Anak Bangsa (Silabna)‌

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA