Importir Oli Kecewa

Kualitas Produk Impor Masih Diragukan

Kamis, 23 Agustus 2018, 10:15 WIB
Importir Oli Kecewa
Foto/Net
rmol news logo Perhimpunan Distributor dan Importir Pelumas Indone­sia (Perdippi) menyanyangkan produk oli impor masih diragu­kan kualitasnya. Padahal, mer­eka diproduksi perusahaan besar dunia dan sudah memenuhi persyaratan international.

Ketua Umum Perdippi Paul Toar mengatakan, seharusnya tidak ada keraguan lagi terhadap kualitas oli impor. Apalagi, sampai harus ada kebijakan SNI wajib pelumas.

"Ada sejumlah alasan yang dijadikan dasar dari penerbitan aturan SNI itu yang bertentangan dengan fakta di lapangan. Seh­ingga, alasan-alasan yang diung­kapkan tersebut tidak berdasar atau bahkan bertentangan den­gan realitas yang ada," ujarnya Paul di Jakarta, kemarin.

Jika alasan penerbitan SNI Wa­jib itu dikarenakan pelumas impor tidak bisa dijamin kualitasnya, hal itu sama sekali tidak benar. Pasalnya, proses produksi pelumas impor telah melalui proses pengu­jian laboratorium Lemigas dengan 14 parameter uji kimia fisika, sebelum diizinkan beredar.

"Mereka adalah minyak pe­lumas prduksi berbagai peru­sahaan minyak raksasa dunia yang diakui kualitas produk dan kredibilitasnya seperti Shell, Exxonmobil, Mobil 1, Total, Castrol dan seterusnya. Kualitas­nya sudah dijamin di negara asal masing-masing," ungkap Paul.

Tudingan pasar pelumas nasion­al dikuasai oleh impor juga tidak beralasan. Fakta menunjukan, sampai saat ini perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yakni Pertamina masih menguasai 70 persen lebih market share min­yak pelumas di Indonesia.

"SNI wajib juga tidak bisa memproteksi pelumas dalam negeri dari pelumas impor. Se­bab, bahan baku minyak pelumas produksi dalam negeri ternyata juga diimpor," katanya.

Menurut dia, penunjukan Ba­dan Standardisasi Nasional (BSN) untuk mengeluarkan lisensi SNI oli juga tidak tepat. Pasalnya, sekama ini yang memberikan sertifikasi adalah Lembaga Ser­tifikasi Produk (LSPro) yang sudah diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN).

Dualisme Aturan

Menurut dia, aturan pelumas yang ada sekarang sudah baik. Dalam aturan Nomor Pelumas Terdaftar (NPT), standar SNI juga dimasukan di regulasi itu dan ber­jalan secara stabil. "Oleh karena itu. Jika nanti ada aturan baru lagi, yakni SNI wajib pelumas akan terjadi dualisme aturan antara SNI dan NPT. Sehingga akan terjadi kerancuan di pintu masuk bagi bea cukai dan di jalur distribusi untuk kepolisian," ungkap Paul.

Di samping itu, kata Paul, biaya pengurusan SNI wajib akan berkisar Rp 500 juta/SKU/4 tahun. Ini akan mematikan pro­dusen dalam negeri yang ber­skala kecil dan sudah berinvestasi triliunan rupiah. "Ujung-ujungnya, masyarakat yang selama ini telah mendapatkan pelumas berkuali­tas dengan harga terjangkau akan kena dampaknya," tukasnya.

Sebelumnya, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mendorong seluruh produsen pelumas di Indonesia wajib berlabel Standar Nasional Indo­nesia (SNI) sampai akhir tahun 2018. Jika tetap ngeyel, siap-siap jualannya di stop.

"Kami menyarankan agar selu­ruh produsen oli harus mengikuti aturan yang akan ditetapkan. Jika melanggar regulasi, kalau itu sudah diwajibkan harus berserti­fikasi SNI, tidak boleh di pasarkan di Indonesia," ujar Direktur Jen­deral Industri Kimia, Tekstil dan Aneka Kemenperin Achmad Sigit Dwiwahjono, belum lama ini.

Dengan adanya regulasi SNI, kata Sigit, dapat melindungi kualitas produk oli yang terjaga sesuai dengan standar berlaku. Karena dengan SNI itu sudah masuk tahap uji coba sesuai ke­butuhan pasar di Indonesia.

"Jika kita lihat standardisasi di luar negeri seperti Amerika dan Eropa produsen oli sudah menggunakan label American Petrolium Institute (API). Seperti Shell ini meskipun dia produk dari Inggris tapi sudah berstandar SNI mengikuti parameter yang ada," tegasnya. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA