BI: Bank-bank Tidak Optimal Manfaatin Pelonggaran LTV

Pertumbuhan Kredit Properti Masih Lesu

Selasa, 03 April 2018, 09:25 WIB
BI: Bank-bank Tidak Optimal Manfaatin Pelonggaran LTV
Foto/Net
rmol news logo Sepanjang tahun lalu, pertumbuhan kredit properti masih kurang bergairah. Padahal, Bank Indonesia (BI) mengaku telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan hal tersebut.

Diakui Deputi Gubernur Se­nior BI Mirza Adityaswara, Bank Sentral telah mengeluarkan ber­bagai kebijakan guna mendorong kredit di sektor properti maupun Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Mulai dari pelonggaran uang muka alias Down Payment (DP) KPR atau loan to value (LTV) hingga mengubah model sistem Giro Wajib Minimum rata-rata (GWM Averaging ) bagi per­bankan.

Saat ini tercatat pelonggaran LTV di kisaran 85 persen, jadi uang muka yang dibebankan ke­pada peminjam adalah 15 untuk kredit kepemilikan rumah bagi rumah pertama, 20 persen untuk rumah kedua, dan 25 persen untuk rumah ketiga.

"BI kan sudah ada pelong­garan LTV, DP rumah jadi lebih ringan. Tapi bank-bank itu yang belum banyak memanfaatkan pelonggaran tersebut. Jadi kalau bank-bank bisa memanfaatkan­nya, tentu akan lebih baik dari sisi suplai kredit. Bahkan bisa mendorong kredit properti dan KPR lebih tinggi lagi," kata Mir­za usai memberikan sambutan di acara Seminar Perkembangan Sektor Properti di Triwulan I 2018, Jakarta, kemarin.

Namun bagi Mirza, ketidakse­riusan bank dalam memanfaat­kan kelonggaran tersebut dinilai wajar. Sebab, masing-masing bank punya kebijakan sendiri, bagaimana mereka melihat be­berapa sisi, misalnya rasio kredit macet dan lainnya.

"BI pun melihat ke siklus ekonomi kita. Di mana siklus ekonomi yang saat tengah re­cover (perbaikan) dan berlanjut. Jadi kami sih mendorong per­bankan supaya lebih optimistis dan berani manfaatkan pelong­garan LTV yang diberikan," ucapnya.

Dari data BI saja, sektor real estate hanya tumbuh 5,67 persen dari sebelumnya 22,22 persen. Sedangkan KPR tumbuh 10,53 persen. Sementara penyaluran kredit ke sektor konstruksi hanya tumbuh 15 persen.

Saat ditanya apakah ada ke­mungkinan untuk pelonggaran kembali LTV, Mirza bilang, hingga saat ini BI telah melaku­kan penurunan suku bunga se­banyak delapan kali atau sekitar 200 basis poin (bps). Sehingga upaya BI untuk mengakomodir kebutuhan perbankan maupun sektor riil dalam mendorong per­tumbuhan, sudah sudah cukup.

"Cukuplah (penurunan suku bunga). LTV sudah dua kali turun dan metode GWM pun sudah diubah guna menambah likuiditas perbankan. Sekarang tinggal bank harus optimis sup­plai kredit, dengan memanfaat­kan LTV dan teman-teman di sektor riil harus optimis untuk mewujudkannya," yakin Mirza.

Butuh Data REI

Salah satu kebijakan pendor­ong kredit properti dan KPR yang belum diluncurkan adalah wacana kebijakan spasial.

"LTV spasial itu karena me­mang kondisi di daerah yang berbeda-beda. Untuk merumus­kan hal tersebut, makanya dibu­tuhkan data dan informasi yang akurat. Kita butuh juga kerja sama dengan REI sebagai pelaku di industri ini, melalui data yang akurat yang ada di REI (Real Es­tate Indonesia)," jelas Mirza.

Mirza bilang, dengan informasi yang lebih menyeluruh baik dari sisi pelaku industri properti, konsumen maupun perbankan, diharapkan kebijakan yang ditetapkan oleh Bank Sentral dapat memberikan manfaat yang optimal bagi kinerja properti yang lebih sehat dan kuat. Yaitu, aksel­erasi pertumbuhan dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian bagi lembaga keuangan penyalur pembiayaan.

"Pertukaran data dan atau infor­masi, khususnya di sektor prop­erti, diharapkan dapat terlaksana dengan optimal dan dapat menun­jang pelaksanaan tugas masing-masing lembaga," ujarnya.

Selain pertukaran data dan informasi, kerja sama ini juga mencakup pengembangan kom­petensi sumber daya manusia melalui focus group discussion, penelitian bersama, seminar, dan sosialisasi, serta kerja sama lain­nya yang disepakati BI dan REI.

Di acara yang sama, Ketua Umum DPP REI Soelaeman Soemawinata mengatakan, sek­tor properti masih memerlukan dorongan untuk bisa kembali pulih. Misalnya, kebijakan LTV spasial sesuai permintaan di daerah bisa mendorong ekspansi properti mengingat pertumbu­han ekonomi masing-masing regional berbeda.

"Namun, kebijakan di sektor properti tidak akan mumpuni tanpa disertai data. Karenanya, REI berkomitmen untuk mem­bantu Bank Sentral," kata pria yang akrab disapa Eman ini.

Meski begitu, kata Eman, tahun ini para pelaku industri properti lebih optimistis. Ber­dasarkan informasi yang diteri­manya, 10 perusahaan properti besar di Indonesia berani me­masang target akumulasi omzet hingga Rp 40 triliun di 2017 dan lebih tinggi dari 2016 yang hanya berkisar Rp 32 triliun.

"Kami memperkirakan per­tumbuhan sektor properti tahun ini berpotensi mencapai dua digit. Terlebih, pemerintah juga berkomitmen mempermudah perizinan. Sektor yang diyakini bakal menggeliat adalah sektor residensial kelas menengah," tuturnya. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA