Badan Pusat Statistik (BPS) meÂnyampaikan, neraca perdagangan Indonesia bulan Februari desifit sebesar 120 juta dolar Amerika Serikat (AS). Karena, nilai ekspor hanya sebesar 14,10 miliar dolar AS, lebih besar daripada impor sebesar 14,21 miliar dolar AS.
"Ini warning untuk kita semua. Karena, neraca perdagangan defisit selama 3 bulan berturut-tuÂrut," ungkap Kepala BPS Kecuk Suhariyanto di Jakarta, kemarin.
Seperti diketahui, Desember 2017 neraca perdagangan defisit sebanyak 270 juta dolar. Dan, JanuÂari 2018 juga mengalami defisit sebesar 670 juta dolar AS.
Kecuk memaparkan, nilai ekspor Indonesia pada Februari sebesar 14,10 miliar dolar AS tersebut menurun 3,14 persen dibandingkan ekspor Januari 2018. Begitupun nilai impor Februari 2018 sebesar 14,21 milÂiar dolar AS, turun 7,16 persen dibanding Januari 2018.
Menurutnya, nilai ekspor ini menurun disebabkan penurunan harga di sektor non-migas yang memiliki share terbesar terhadap total ekspor mencapai 90,13 persen. Sektor yang mengalami penurunan terbesar adalah industri sebesar 72,38 persen diikuti tambang 16,08 persen dan migas 9,87 persen.
Sedangkan untuk impor, perÂtumbuhannya didominasi oleh kelompok bahan baku dan bahan penolong yang sharenya mencaÂpai 74,43 persen.
Kecuk mengatakan, neraca perdagangan harus segera dibeÂnahi. Pemerintah harus segera meningkatkan ekspor. Hal itu bisa dilakukan dengan cara memperÂluas pasar ekspor non tradisional. Selain itu, meningkatkan nilai tambah terhadap barang ekspor. Tidak lagi mengirimkan barang mentah namun harus barang yang sudah diolah. "Jika tidak segera dibenahi, perdagangan Indonesia akan semakin tertinggal dari negara tetanga seperti Thailand dan Vietnam," ungkapnya. Dia berharap, bulan depan neraca perdagangan surplus.
Direktur
Institute for DevelopÂment of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati juga memberikan warning kepada peÂmerintah. Menurutnya, pemerinÂtah harus mencermati defisit perÂdagangan. Apalagi, saat ini kinerja ekspor sedang hadapi tantangan gejolak perekonomian dunia.
"Saat ini sedang ada perang dagang AS dan China, itu bisa mempengaruhi kinerja ekspor. Pemerintah harus mensiasatinya dengan mencari negara tujuan ekspor baru," kata Enny kepada
Rakyat Merdeka. Merujuk data BPS, tujuan ekspor non migas Indonesia masih menÂgadalkan China, AS, dan Jepang. Pada bulan Februari, pangsa ekspor ketiga negara mencapai 36,49 persen. Rinciannya, nilai ekspor RI ke China mencapai 2,06 miliar dolar AS, naik dibandingkan Januari 1,19 miliar dolar AS. Kemudian AS 1,28 miliar dolar AS turun dibandingkan Januari 1,54 miliar dolar AS, dan Jepang 1,26 miliar dolar AS turun dibanding periode Januari 1,38 miliar dolar AS.
Enny menilai, neraca perdaÂgangan bulan depan rentan menÂgalami defisit kembali. Karena, impor bahan baku cukup tinggi, sementara kinerja ekspor belum menunjukkan perbaikan.
Sementara itu, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri MuÂlyani berharap defisit anggaran tidak sampai menganggu kinerja perekonomian. "Indonesia harus meningkatkan ekspor sekaligus meningkatkan
capital inflow supaya defisit yang berasal dari impor ini tidak menimbulkan persepsi mengenai eksternal risk kita," jelas Mulyani.
Ani-panggilan akrab Sri MulyÂani mengatakan, pemerintah telah menyiapkan sejumlah mitigasi untuk mengantisipasi dampak kemungkinan berlanjutnya penÂingkatan impor yang menjadi penyebab defisit perdagangan. Mitigasinya antara lain dilakuÂkan dengan menggenjot kinerja ekspor dan meningkatkan arus modal yang masuk ke Indonesia (
capital inflow). ***
BERITA TERKAIT: