Hal ini dikatakan Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus DW Martowardojo. "Pengakuan tersebut didukung efektivitas keÂbijakan pemerintah dan otoritas dalam menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan. Serta komitmen pemerintah dalam mengimplementasikan reformasi struktural," tuturnya di Jakarta, kemarin.
Karenanya, sambung Agus, momen positif tersebut perlu dipertahankan bersama untuk memastikan terjaganya stabilitas perekonoman. Sehingga menduÂkung tercapainya pertumbuhan ekonomi Indonesia yang semakin kuat, berkelanjutan dan inklusif.
"Dalam kaitan ini, Bank SenÂtral akan terus mengoptimalkan bauran kebijakan termasuk meÂnempuh langkah-langkah stabiÂlisasi nilai tukar agar sesuai nilai fundamentalnya. Serta upaya pendalaman pasar keuangan untuk menjaga stabilitas perekoÂnomian," ucapnya.
R&I sebelumnya memperÂbaiki
outlook SCR Indonesia dari Stable menjadi Positive, sekaligus mengafirmasi rating pada BBB-(
Investment Grade) pada 5 April 2017.
Dalam keterangan persnya, R&I menyatakan, faktor kunci yang mendukung kenaikan SCR Indonesia adalah perekonomian Indonesia yang terus menunjukÂkan kinerja yang sangat baik dengan inflasi yang rendah dan stabil, defisit fiskal yang terjaga, serta utang pemerintah yang rendah.
"Ketahanan ekonomi Indonesia juga dinilai semakin baik dalam menghadapi gejolak eksternal, tercermin dari defisit transaksi berÂjalan yang rendah dan cadangan devisa yang besar," sebutnya.
Selain itu, pembangunan inÂfrastruktur menunjukkan kemaÂjuan dan iklim investasi semakin membaik. R&I juga mencatat bahwa upaya pemerintah meningkatkan penerimaan pajak melalui penguatan basis data perpajakan dinilai cukup baik.
Lebih lanjut, R&I meyakini keÂbijakan yang berfokus pada stabilitas makroekonomi dan rangkaian inisiatif reformasi struktural akan terus berlanjut di tengah berbagai agenda politik, yaitu Pilkada 2018 serta Pemilu legislatif dan Pemilu Presiden 2019.
Dihubungi terpisah, Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BCA) David Sumual meminta pemerintah terus menjaga konÂdisi ini. Bahkan kalau bisa terus meningkatkan iklim di pasar saham. Dengan kondisi itu, harapannya investor tak segan berinvestasi di Tanah Air.
"Saya pikir kita masih menÂjadi salah satu negara yang dimiÂnati investor, dan itu konfirmasi bahwa Indonesia semakin baik. Apalagi tahun lalu pasca kenaiÂkan rating, sempat terjadi bullish dari investor ke pasar modal mauÂpun investasi dalam negeri," kata David kepada
Rakyat Merdeka. Ia melihat pertumbuhan ekonoÂmi hanya menjadi bagian kecil pertimbangan dalam penentuan rating utang. Karena itu sisi fiskal yang seharusnya mendapat perhaÂtian lebih oleh pemerintah.
"Tentu kita ingat, bahwa tekanan suku bunga Amerika Serikat (
Fed rate) naik, beban utang semakin mahal. Rupiah juga mengalami depresiasi, utang makin mahal karena banyak Surat Berharga Negara (SBN) Valas. Ini menjadi beban-beban yang harus ditangÂgulangi pemerintah," ucapnya.
Ke depan, sambung David, Indonesia perlu lebih banyak diÂversifikasi pendanaan, sehingga mengurangi ketergantungan utang ke luar negeri.
"Sekarang tren pendanaan di InÂdonesia sudah bagus, dapen (dana pensiun) sudah berperan di SPN (surat perbendaharaan negara). Untuk pendanaan proyek, bank-bank juga masuk. Peran swasta terus didorong," katanya.
Kini tantangan yang harus dihadapi pemerintah, menurut DaÂvid adalah, memperbesar peneriÂmaan pajak. Penerimaan pajak tahun ini perlu diseimbangkan kembali dengan kemungkinan realisasinya.
"Pada saat bersamaan, tax ratio harus ditingkatkan. Tapi jangan sampai mengganggu confidence," ujarnya. ***
BERITA TERKAIT: