Menurut Head of Intermediary Business of Schroders Indonesia Teddy Oetomo menilai, investasi di saham masih menarik pada 2018. Adanya optimisme pemuÂlihan ekonomi global sehingga berdampak ke pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi katalis positif. Dana Moneter Internasional atau IMF memÂprediksi pertumbuhan ekonomi sekitar 3,6 persen di tahun ini.
Teddy bilang, bahkan tidak cuma Indonesia, tetapi dunia arahnya pertumbuhan lebih baik otomatis akan menarik di saham. Saham tergantung dari laba berÂsih yang didorong pertumbuhan ekonomi. Angka konsensus perÂtumbuhan laba bersih 13 persen.
"Prospek investasi saham terÂgantung dari kemampuan funÂdamental ekonomi Indonesia. Apabila pertumbuhan ekonomi positif diharapkan dapat dorong pertumbuhan kinerja emiten sekiÂtar 13 persen pada 2018," kata Teddy di acara
Macro Economic Outlook & Investment Strategy 2018 di Jakarta, kemarin.
Untuk sektor saham, Teddy memilih sejumlah sektor saham antara lain sektor konsumsi, infrastruktur, bank, dan komodiÂtas. Akan tetapi, pertumbuhan sektor saham itu juga melihat dari daya beli masyarakat.
"Sektor konsumsi menarik, jangan hanya terlalu patok ke ritel. Sektor konsumsi juga bisa dari produsen. Kemudian peruÂsahaan yang terafiliasi dengan inÂfrastruktur secara proyek mungkin menarik. Bank juga dengan memÂbaiknya kredit macet. Lumayan tersebar cukup luas," kata Teddy.
Lebih jauh Teddy mengaÂtakan, saat ini, sebenarnya ada banyak faktor yang menyebabÂkan tingkat pertumbuhan ekonoÂmi. Berbagai faktor juga telah diupayakan agar pertumbuhan ekonomi terus meningkat.
"Pertumbuhan itu bukan satu-satunya faktor ekonomi yang perlu diperhatikan, kualitas dari pertumbuhan jauh lebih pentÂing," ujarnya.
Terkait hal ini,
Head of Wealth Management and Retail Digital Business Bank Commonwealth Ivan Jaya mencatat, dana keloÂlaan bisnis wealth management sampai akhir 2017 sebesar Rp 30 triliun sampai Rp 35 triliun. Dana kelolaan ini mayoritas berasal dari produk Premier Banking.
Hingga kini, nasabah Premier Banking menyumbang 20 persen dari total nasabah bank. Dari sisi bisnis,
wealth management menyumbang 40-50 persen dari total pendapatan bank.
"Fee based dari wealth manÂagement sampai kuartal III-2017 naik 11 persen, pada tahun ini diharapkan naik 15-20 persen," ucapnya.
Menurut Ivan, produk unÂgulan wealth management unÂgulan Commonwealth adalah reksa dana rupiah dan dolar AS. Produk reksa dana dolar AS ini berbasis global yaitu di Amerika Serikat dan Asia Pasifik. Secara spesifik, dua reksa dana yang cukup laku di Commonwealth adalah Shcroder Dana Prestasi dan Shcroder Dana Syariah.
Selain produk reksa dana terseÂbut bank juga menjual beberapa produk lain dari beberapa aset management terkemuka di antaranÂya Schroder, Mandiri Managament Investasi, Manulife dan BMP Paribas. Untuk meningkatkan dana kelolaan wealth management utaÂmanya reksa dana, bank mengoptiÂmalkan layanan e-reksa dana.
Tak hanya itu, lanjut Ivan, pihaknya telah menyiapkan tiga strategi untuk menggenjot dana kelolaan wealth management Bank Commonwealth. Pertama bagaimana kita menyampaikan komunikasi secara masif kepada nasabah. Kedua, ialah memperÂmudah akses bagi nasabah untuk mengetahui dana kelolaan dan transaksi keuangannya.
"Kemudian ketiga, adalah bagaiamana menjaga kecakapan tenaga penjual. Hal ini pentÂing dalam meningkat edukasi, kenyamanan bertransaksi, dan komunikasi rutin dengan nasaÂbah," tutup Ivan.
Dalam merespons kebutuhan investasi nasabah di era ekonomi digital, Bank Commonwealth berkomitmen mendampingi Nasabah dalam meningkatÂkan kesejahteraan finansialnya melalui perbankan digital, salah satunya dengan Dynamic Model Portofolio yang merupakan benÂefit dari Premier Banking.
Dynamic Model Portfolio merÂupakan sebuah konsep investasi yang tidak hanya fokus pada perpaduan kelas aset berdasarkan profil risiko Nasabah, tetapi juga berdasarkan risiko pasar. ***
BERITA TERKAIT: