Diungkap, Banyak Keganjilan Di Balik Izin Ekspor Mineral Mentah

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/aldi-gultom-1'>ALDI GULTOM</a>
LAPORAN: ALDI GULTOM
  • Jumat, 01 Desember 2017, 19:27 WIB
Diungkap, Banyak Keganjilan Di Balik Izin Ekspor Mineral Mentah
rmol news logo Komisi VII DPR tidak konsisten menegakkan aturan ekspor mineral mentah yang tetap berlangsung sampai saat ini. Hal itu bisa disimpulkan jika merujuk kesimpulan RDPU Komisi VII dengan Dirut PT Freeport Indonesia (PTFI) dan PT Petrokimia Gresik pada Desember 2016.

Demikian diungkapkan Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman, berdasarkan dokumen yang ia peroleh. Dokumen ditandatangani oleh Dirjen Minerba Kementerian ESDM, Bambang Gatot Ariyono, dan Wakil Ketua Komisi VII, Syaikhul Islam Ali .

Hasil RDPU adalah Dirjen Minerba tidak boleh memberikan rekomendasi eskpor kepada PTFI  setelah 12 Januari 2017 apabila PTFI tidak melaksanakan komitmen pembangunan dan pemurnian di dalam negeri sesuai Pasal 170 UU Minerba.

"Artinya, setiap izin ekspor konsentrat dan mineral mentah adalah pelanggaran terhadap UU Minerba, kecuali ada revisi terhadap UU Minerba atau menerbitkan Perppu Minerba. Sedangkan rekomendasi ekspor mineral mentah, berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) 1/2017, adalah pelanggaran terhadap UU Minerba," ujar Yusri.

Ada beberapa perusahaan tambang IUP Operasi Produksi yang telah mendapat rekomendasi ekspor mineral mentah (nikel kadar Ni lebih besar dari 1, 7 persen dan washed bauxite) hanya berdasarkan komitmen "akan membangun",  bukan berdasarkan "sedang" dan "telah membangun" smelter. Setelah enam bulan menikmati fasilitas ekspor, ternyata kemajuan realisasi pembangunan masih 0 persen. Ia mencontohkan PT Freeport Indonesia, PT  Ceria Nugraha Infotama, PT Dinamika Sejahtera Mandiri, PT Laman Mining dan PT Lobindo Nusa Persada.

"Mereka secara sah dan meyakinkan diduga telah melanggar UU 4/2009 tentang Minerba," tuding Yusri..

Dan diketahui pula, Ditjen Minerba tidak bisa menjelaskan dasar aturan persyaratan penerbitan rekomendasi ekspor yang telah diberikan kepada beberapa perusahaan dalam RDP tanggal 30 November 2017. Artinya, Ditjen Minerba terkesan menutup sesuatu kepada DPR dalam proses penerbitan rekomendasi ekspor.

Menurut Yusri, terbukti bahwa Ditjen Minerba tidak punya konsep dalam bentuk peraturan sanksi denda berupa nilai rupiah terhadap perusahaan yang telah menikmati keuntungan besar dari ekspor mineral mentah namun merugikan negara akibat tidak merealisasikan janjinya membangun smelter.

"Padahal sejak awal rekomendasi ini diterbitkan, kami telah mengingatkan Dirjen Minerba Bambang dan Direktur Pengusahaan Mineral Bambang, Susigit. Bukti pembicaraan via WhatsApp kami simpan," umbarnya.

Ada banyak pertanyaan yang disampaikan Yusri terkait kasus itu. Misalnya, apa dasar pertimbangan Ditjen Minerba telah memberikan alokasi kuota ekspor mineral mentah jauh lebih besar kepada PT Ceria Nugraha Indotama, PT Dinamika Sejahtera Mandiri, PT Kalbar Bumi Perkasa, PT Laman Mining dan PT Lobindo Nusa Persada daripada kepada PT Antam Tbk (BUMN). Apalagi, setelah enam bulan tidak sedikitpun kemajuan pembangunan smelter oleh perusahaan-perusahaan swasta tersebut. Kalaupun ada, kemajuannya hanya sekitar 0 persen sampai 3 persen. Padahal semua perusahaan tersebut sudah membuat pernyataan di atas kop surat Ditjen Minerba, namun nihil realisasi.

Pertanyaan selanjutnya, atas beban biaya siapa tim verifikator yang dibentuk oleh Ditjen Minerba bekerja mengevaluasi semua persyaratan dan realisasinya, dan apa laporan dari tim tersebut. Lalu, apakah hasil evaluasi oleh tim verifikator itu bebas dari potensi kongkalikong dengan pemilik IUP yang telah menikmati fasilitas ekspor? Hal ini mengingat Komisi VII  DPR akan melakukan peninjauan ke lokasi rencana smelter untuk menyaksikan fakta lapangan.

Ia juga mempertanyakan siapa yang memberikan masukan kepada Kementerian Keuangan terkait tarif bea keluar mineral, yang awalnya sangat ketat menjadi longgar soal syarat pembangunan smelter. Buktinya, Menteri Keuangan menerbitkan Permenkeu 13 / PMK .010/2017 tentang "Penetapan Barang Ekspor Yang Dikenakan Tarif Bea Keluar" yang merupakan perubahan dari Permenkeu 153/ PMK.011/2014 yang mensyaratkan adanya jaminan kesungguhan dari perusahan membangun smeter senilai 5 persen dari nilai smelter (Pasal 4 ) juga setiap tahapan kemajuan pembangunan smelter diberi bobot terkait tarif bea keluar yang dikenakan.

"Untuk menghindari potensi terjadi kongkalikong dalam proses peninjauan lokasi smelter pengusaha yang telah menikmati ekspor, sebaiknya Ditjen Minerba dan DPR Komisi VII menyertakan minimal lima wartawan dari media nasional dan melibatkan banyak wartawan lokal dalam peninjauannya, agar hasil peninjuan dapat diketahui luas oleh publik," saran dia.

Dia mengkritik KPK yang terkesan lalai mengamati kejanggalan rekomendasi eskpor mineral. Seharusnya, KPK lebih serius memantau dugaan kongkalikong rekomendasi ekspor mineral mentah yang telah merugikan negara dan menghambat hilirisasi industri mineral seperti diamanatkan UU Minerba.

Ia juga menggugat dasar pertimbangan Dirjen Minerba menentukan tarif denda hanya 10 persen dari kumulatif nilai ekspor bagi perusahaan yang tidak tepat janji membangun smelter, sementara keuntungan yang sudah dinikmati eksportir rata-rata berkisar 25 sampai 30 persen dari nilai kumulatif.

"Sebaiknya Dirjen Minerba menyetop semua izin ekspor dengan menarik rekomendasi yang telah diberikan kepada semua perusahaan dan menetapkan nilai denda minimal 20 persen dari nilai kumulatif penjualan ekspor," tutup Yusri Usman. [ald]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA