Dibandingkan pelemahan mata uang regional lainya seperti Singapura, rupiah lebih terjun bebas.
"Seakan-akan tidak ada Bank Indonesia dalam NKRI ini," kritik President Director Center for Banking Crisis, Achmad Deni Daruri dalam keterangannya, Senin (30/10).
Deni menjelaskan, pelemahan mata uang di Asia memang karena perekonomian Amerika Serikat terus membaik baik kebijakan fiskal maupun moneternya. Hal ini rupanya telah diantisipasi Bank Sentral Singapura dengan menyiapkan instrumen moneter yang inovatif dan antisipatif agar perkembangan ekonomi Amrik tidak signifikan mempengaruhi mata uang Negeri Singa Putih itu.
Otoritas moneter Singapura menggunakan pertukaran mata uang dalam negerinya sebagai instrumen utamanya, bukan suku bunga. Ini memudahkan otoritas bank sentralnya untuk melakukan penyesuaian kebijakan terhadap inflasi dan pertumbuhan ekonomi global.
Beda dengan rupiah, ia menilai Bank Indonesia (BI) kelihatan agak gugup mengantisipasi perkembangan ekonomi Amrik, sehingga tidak inovatif.
"Hanya intervensi pasar, yang hanya menghabiskan cadangan devisa tanpa efek maksimal pengaruhnya," ujarnya.
Karena itulah, ia berharap Gubernur BI, Agus Martowardojo yang akan habis masa jabatan Mei 2018 mendatang, punya jurus baru menguatkan nilai rupiah. "Supaya kita punya gubernur BI yang berkualitas bukan jurus berkampanye untuk terpilih lagi menjadi gubernur BI periode berikutnya," imbuh Deni.
[wid]