Headof Fiscal Affairs & ComÂmunications PT HM Sampoerna Tbk Elvira Lianita berharap, pemerintah dapat mengambil kebijakan fiskal dan regulasi untuk industri rokok yang tepat. Ini mengingat kondisi industri tembakau nasional yang selama beberapa tahun terakhir mengaÂlami stagnasi.
"Bahkan mengalami penuÂrunan pada 2016 dan 2017," ujarnya di Jakarta, kemarin.
Karena itu, setiap kebijakan yang diambil sebaiknya memÂpertimbangkan aspek tenaga kerja dan kelangsungan industri. Industri hasil tembakau nasional memiliki tingkat penyerapan tenaga kerja yang signifikan, baik di pabrikan, pertanian tembakau dan cengkeh, maupun rantai perdagangan rokok.
Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gaprindo) Ismanu Sumiran pesimistis, target penÂerimaan cukai tembakau harian akan tercapai jika pemerintah menaikkan cukai tahun depan. Saat ini saja penerimaan cukai tembakau baru Rp 77,89 triliun atau 52,7 persen dari target Anggaran Pendapatan dan BeÂlanja Negara Perubahan 2017 Rp 147,54 triliun.
"Dengan produksi rokok yang turun, seharusnya cukai rokok tidak naik," ujarnya.
Produksi rokok berdasarkan CK-1 atau pemesanan pita cuÂkai sampai dengan September tahun ini, baru mencapai 237 miliar batang, dari target 342 miliar batang. Artinya baru 69,29 persen.
Karena itu, rencana kenaikan cukai rokok yang mencapai 10,04 persen tahun depan, akan memberatkan industri hasil tembakau. Alasannya, di tahun 2017 ini industri rokok masih belum pulih.
Menurutnya, kenaikan cukai pada tiga tahun terakhir, juga membuat produksi rokok turun sekitar 1 persen. Hal itu, menunÂjukkan bahwa tarif cukai sudah di atas angka kemampuan daya beli masyarakat.
Bahkan, saat ini jumlah indusÂtri rokok mengalami penurunan yang signifikan dalam delapan tahun terakhir. Sebelumnya jumlah pabrik rokok mencapai 5.000 pabrik. Kini yang tersisa hanya tinggal 150 industri.
"Dari 2009 ke 2016, jumlah industri turun 81,6 persen. Dari 4.900-an, sisa 600 yang berÂizin, dan hanya 100-150 yang produksi aktif, kadang beli pita cukai kadang tidak. Turunnya industri ini bagian dari antikliÂmaks," kata Ismanu.
Turunnya jumlah industri ini, lanjut Ismanu, juga berdampak pada efisiensi tenaga kerja. Setidaknya dari 6 juta pekerja langsung di industri rokok, kini hanya tinggal 200 ribu yang tercatat aktif bekerja di industri rokok.
"Tapi kami ingin ini (pekerja) dipertahankan, jam kerja kita kurangi, tidak langsung PHK. Awalnya memang terjadi keÂmelut, banyak yang hadapi kesulitan," tandas dia.
Masih KecilPeneliti dari Lembaga DeÂmografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Abdillah Ahsa mengatakan, kenaikan cukai rokok sebesar 10,04 persen yang akan berÂlaku mulai 2018 mendatang dianggap tak cukup kuat untuk mengendalikan konsumsi rokok di Indonesia. Alasannya, harga jual rokok tidak otomatis naik dengan besaran yang sama.
Terlebih, untuk rokok yang diproduksi produsen besar. SeÂbab, mereka mampu memÂberikan subsidi harga demi mendorong agar konsumsi rokok tetap tinggi. Ia memperkirakan, kenaikan tarif cukai jika diterjeÂmahkan hanya akan sebesar Rp 8-50 per batang rokok. Artinya, kenaikan tersebut tidak akan mampu mencapai tujuan yang diinginkan. "Kalau hanya naik segitu, apakah konsumsi akan menurun? Kan tidak," ujarnya.
Abdillah memandang, peÂmerintah harus menegaskan fungsi cukai sebagai penÂgendali konsumsi rokok denÂgan menaikkan tarif setinggi mungkin. Memang,sebagai konsekuensinya pendapatan negara bisa menurun. Namun, di sisi lain, BPJS akan semakin kuat karena saat ini penyakit yang disebabkan oleh rokok menyumbang kontribusi sebanÂyak 40 persen. ***
BERITA TERKAIT: