Namun, terkait status Rini yang masih di-blacklist Senayan, posisinya akan diÂwakilkan Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Ia menegaskan, lahirnya PP No. 72 Tahun 2016 tersebut telah menabrak UU yang suÂdah ada dan menjadi masalah yang serius. PP 72 harus dibeÂnahi atau dibatalkan jika tidak ingin yang menjalankannya terkena sanksi.
"Kami telah mengundang para pakar dan bersepakat bahwa PP 72 melampaui keÂwenangan yang telah diatur undang-undang. Ini jelas masalah serius. Jika melamÂpaui undang-undang, PP tersebut tidak sah. Inilah yang mau disampaikan ke pemerinÂtah. Kami sudah agendakan pertemuan dengan pemerintah dalam hal ini Menteri BUMN yang diwakilkan Menteri Keuangan pekan ini," kata Azam di Jakarta, kemarin.
Menurut dia, apa pun yang tertuang dalam PP mengenai BUMN juga harus tunduk pada aturan di mana kekayaan peruÂsahaan pelat merah adalah keÂkayaan negara yang dipisahkan dari APBN.
Segala bentuk perubahan staÂtus maupun hal yang menyangÂkut BUMN mesti diketahui dan mendapatkan izin dari DPR.
"Jika PP memang tetap diÂjalankan, sudah jelas menabrak undang-undang lainnya. Ada dua sanksi yang bisa menjerat pemerintah, yakni sanksi seÂcara politis dan sanksi hukum kepada yang menjalankan, yaitu Menteri BUMN," tegas Azam.
Lebih lanjut ia mengemukaÂkan, sebuah kesepakatan denÂgan DPR akan diambil bersama Menteri Keuangan pekan ini terkait PP 72 tersebut. Ia berÂharap, tidak ada konflik ke deÂpan mengenai adanya peraturan yang saling bertabrakan.
"PP yang dikeluarkan peÂmerintah secara tegas dan cerÂmat, kami amati sehingga tidak bertabrakan dengan undang-undang yang sudah ada. Kami tidak ingin nantinya ada judicial review ataupun konflik baru," katanya.
Tak Kangkangi DPRMenteri BUMN Rini SoeÂmarno menegaskan, PP Nomor 72 Tahun 2016 itu tidak menÂgangkangi kewenangan DPR.
"Tak ada satu pun yang meÂlanggar. PP tersebut tidak terÂpisah dari PP Nomor 44 Tahun 2005 tentang tata cara penyerÂtaan dan penatausahaan modal negara pada badan usaha milik negara," ujar Rini.
Ia mengatakan, kehadiran PP No.72 Tahun 2016 justru meÂnyempurnakan PP No. 44 Tahun 2005. "Jadi harus dibaca secara keseluruhan agar tidak rancu. PP baru ini justru melengkapi PP yang lebih dulu," terang MenÂteri Rini.
Deputi Bidang RestrukturiÂsasi dan Pengembangan Usaha Kementerian BUMN Aloysius Kiik Ro juga menampik kalau PP tersebut dinilai mempermuÂdah aset BUMN dijual kepada pihak swasta.
Ia menjelaskan, PP itu menÂgatur pengalihan aset ke pihak perseroan terbatas non BUMN. Sementara, pihak perseroan terbatas non BUMN yang diÂmaksud dalam PP 72 tahun 2016 adalah anak usaha BUMN.
"Jadi bukan dijual sahamnya. Karena saham BUMN nggak ada yang keluar. Bukan dijual ke swasta, tapi mengalihkan ke anak usaha. Berbeda ya, antara mengalihkan dan menjual," kata Aloysius. ***
BERITA TERKAIT: