Kondisi ini dinilai bertentangan dengan komitmen pemerintah mengalokasikan dana pendidikan sebesar 20 persen dan juga komitmen untuk memberantas pungutan liar.
Peneliti dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ahmad Taufik mengatakan, terbitnya Permendikbud no. 75/2016 ini dengan alasan negara sedang kekurangan dana pendidikan dinilai tidak tepat.
"Dalam konteks anggaran, untuk sektor pendidikan suÂdah dialokasikan anggaran 20 persen dari APBN/APBD, keÂtika pemerintah menggulirkan isu kekurangan dana masih tidak jelas berapa dana yang dibutuhkan tersebut," katanya, di Kantor
Indonesia Corruption Watch (ICW), Jalan Kalibata Timur IV, Jakarta.
Sektor pendidikan sudah seÂharusnya dibiayai oleh negara. Namun masih banyak potensi korupsi di sektor tersebut. Taufik mencontohkan, kasus korupsi pengadaan UPS di DKI Jakarta menjadi bukti bahwa anggaran pendidikan bisa disÂelewengkan.
Jika Permendikbud 75/2016 ditujukan untuk merevitalisasi peran Komite Sekolah maka langkah itu harus diiringi dengan perbaikan tata keloÂla. "Misalnya ketika Komite Sekolah meminta sumbangan ini itu harus dikontrol, laporanÂnya secara rutin dibuka dan harus ada akses untuk pengaÂwasan publik," ujarnya.
Pengelolaan dana sumbangantersebut juga harus dilakukan secara terbuka dan akuntabel. Taufik menegaskan jangansampai sumbangan di sekoÂlah malah memberatkan masyarakat.
Sedangkan Direktur Article 33, Santoso mengingatkan, setiap institusi yang menggunakan dana publik baik itu dari APBN, APBD, dan dana masyarakat harus melaksanaÂkan prinsip tranparansi, akuntaÂbel, dan partisipatif.
"Kalau sekolah ingin mengÂgalang dana masyarakat baÂgaimana nanti pengelolaannya, sementara kita tau banyak sekolah yang belum memÂbuat Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah (RKAS)," katanya.
Menurutnya, berbahaya jika institusi sekolah melakuÂkan penggalangan dana tanpa dibarengi pengelolaan yang baik. Seharusnya pemerintah mendorong sekolah merencanakan keuangannya secara bertanggung jawab. Sehingga kalau ada dugaan penyalahgunaan jadi orang tua murid atau masyarakat tau keÂmana harus melaporkannya.
Santoso menyebutkan, Permendikbud 75/2016 ini berpotensi menambah kesenjangan kualitas sekolah di Indonesia. Jika Komite Sekolah diberi kewenangan mencari bantuan dari selain orang tua murid maka bisa dibayangkan sekoÂlah mana yang bakal mendapat sumbangan.
"Tentunya yang akan banÂyak dapat sumbangan adalah sekolah yang bagus, sementara sekolah di pelosok berpotensi mendapat sumbangan yang kecil," terangnya.
Dalam hal ini, pemerintah harusnya mampu menjalankan pemerataan kualitas pendidiÂkan. Caranya dengan melakuÂkan realokasi dana pendidikan. "Komite Sekolah bisa mencari sumbangan, tapi bagaimana jika Komite Sekolah tidak bisa bikin proposal atau bahkan tidak tau apa kebutuhan sekoÂlah," imbuhnya.
Sementara Koordinator invesÂtigasi ICW, Febri Hendri menambahkan, selama ini masyarakat kerap dipusingkan dengan pungutan berbalut sumbangan dari Komite Sekolah.
Apalagi tidak jelas mekanisme transparansi dan akuntabilitas pengelolaan sumbangan tersebut. ***
BERITA TERKAIT: