Sudah 20 %, Kok Tarik Urunan Lagi

Permendikbud No 75/2016 Dikritik

Jumat, 20 Januari 2017, 09:32 WIB
Sudah 20 %, Kok Tarik Urunan Lagi
Foto/Net
rmol news logo Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) nomor 75 tahun 2016 tentang Komite Sekolah mendapat kritikan. Alasannya, kebijakan terse­but memberikan kewenangan bagi Komite Sekolah untuk menggalang dana publik selain pungutan sekolah.

Kondisi ini dinilai bertentangan dengan komitmen pemerintah mengalokasikan dana pendidikan sebesar 20 persen dan juga komitmen untuk memberantas pungutan liar.

Peneliti dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ahmad Taufik mengatakan, terbitnya Permendikbud no. 75/2016 ini dengan alasan negara sedang kekurangan dana pendidikan dinilai tidak tepat.

"Dalam konteks anggaran, untuk sektor pendidikan su­dah dialokasikan anggaran 20 persen dari APBN/APBD, ke­tika pemerintah menggulirkan isu kekurangan dana masih tidak jelas berapa dana yang dibutuhkan tersebut," katanya, di Kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Jalan Kalibata Timur IV, Jakarta.

Sektor pendidikan sudah se­harusnya dibiayai oleh negara. Namun masih banyak potensi korupsi di sektor tersebut. Taufik mencontohkan, kasus korupsi pengadaan UPS di DKI Jakarta menjadi bukti bahwa anggaran pendidikan bisa dis­elewengkan.

Jika Permendikbud 75/2016 ditujukan untuk merevitalisasi peran Komite Sekolah maka langkah itu harus diiringi dengan perbaikan tata kelo­la. "Misalnya ketika Komite Sekolah meminta sumbangan ini itu harus dikontrol, laporan­nya secara rutin dibuka dan harus ada akses untuk penga­wasan publik," ujarnya.

Pengelolaan dana sumbangantersebut juga harus dilakukan secara terbuka dan akuntabel. Taufik menegaskan jangansampai sumbangan di seko­lah malah memberatkan masyarakat.

Sedangkan Direktur Article 33, Santoso mengingatkan, setiap institusi yang menggunakan dana publik baik itu dari APBN, APBD, dan dana masyarakat harus melaksana­kan prinsip tranparansi, akunta­bel, dan partisipatif.

"Kalau sekolah ingin meng­galang dana masyarakat ba­gaimana nanti pengelolaannya, sementara kita tau banyak sekolah yang belum mem­buat Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah (RKAS)," katanya.

Menurutnya, berbahaya jika institusi sekolah melaku­kan penggalangan dana tanpa dibarengi pengelolaan yang baik. Seharusnya pemerintah mendorong sekolah merencanakan keuangannya secara bertanggung jawab. Sehingga kalau ada dugaan penyalahgunaan jadi orang tua murid atau masyarakat tau ke­mana harus melaporkannya.

Santoso menyebutkan, Permendikbud 75/2016 ini berpotensi menambah kesenjangan kualitas sekolah di Indonesia. Jika Komite Sekolah diberi kewenangan mencari bantuan dari selain orang tua murid maka bisa dibayangkan seko­lah mana yang bakal mendapat sumbangan.

"Tentunya yang akan ban­yak dapat sumbangan adalah sekolah yang bagus, sementara sekolah di pelosok berpotensi mendapat sumbangan yang kecil," terangnya.

Dalam hal ini, pemerintah harusnya mampu menjalankan pemerataan kualitas pendidi­kan. Caranya dengan melaku­kan realokasi dana pendidikan. "Komite Sekolah bisa mencari sumbangan, tapi bagaimana jika Komite Sekolah tidak bisa bikin proposal atau bahkan tidak tau apa kebutuhan seko­lah," imbuhnya.

Sementara Koordinator inves­tigasi ICW, Febri Hendri menambahkan, selama ini masyarakat kerap dipusingkan dengan pungutan berbalut sumbangan dari Komite Sekolah.

Apalagi tidak jelas mekanisme transparansi dan akuntabilitas pengelolaan sumbangan tersebut. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA