Kepala Departemen PeneliÂtian Ekonomi Center for StraÂtegic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri memprediksi pertumbuhan ekspor nasional tahun ini menÂcapai 3,2 persen. namun dengan catatan, tidak ada negara lain lagi yang mengikuti aksi proÂteksi AS dan Inggris.
"Tahun ini masih bisa meningkat 3,2 persen, walaupun ini di bawah dari apa yang bisa dilakukan. Jika tidak ada kebijakan protektif, seharusnya ekspor Indonesia bisa mencapai 4-5 persen," ujar Yose di Jakarta, kemarin.
Dia melihat, sebenarnya ada potensi terjadi pemulihan ekonomi di negara yang dikenal sebagai mitra dagang Indonesia, seperti China, AS dan Uni Eropa.
Hanya sayangnya, pemulihan tersebut tidak akan memberikan dampak positif terhadap IndoÂnesia karena mereka menerapÂkan kebijakan protektif.
Kementerian Perdagangan (Kemendag) mencatat, per NoÂvember 2016 perdagangan surÂplus 837,8 juta dolar AS, atau naik 5,9 persen per bulan (month on month/MoM). Angka tersebut meningkat 21,3 persen secara tahunan (
year on year/YoY).
Kinerja ekspor Januari-November 2016 melorot 5,63 persen, namun tetap mencatatÂkan surplus sebesar 7,79 miliar dolar AS. Hal ini dikarenakan impor juga menurun sebesar 5,94 persen. Lima negara peÂnyumbang surplus nonmigas adalah AS, India, Filipina, BeÂlanda, dan Pakistan, dengan total surplus 22,1 miliar dolar AS.
Yose mengapresiasi upaya pemerintah yang terus menÂcari negara tujuan ekspor. NaÂmun diingatkannya, pemerinÂtah agar tidak semerta-merta meninggalkan pangsa pasar di negara yang selama ini menÂjadi mitra dagang Indonesia. Sebab sumber pertumbuhan ekonomi saat ini masih berasal dari negara-negara tersebut.
Selain itu, Yose meminta, upaya meningkatkan volume ekspor ke negara-negara lama juga ditingkatkan. Pangsa pasar harus dipertahankan. Pasalnya, ekspor ke mitra dagang utama belakangan mengalami penuÂrunan.
"Misalnya ke AS. Dahulu ekspor kita ke AS sekitar 1,1-1,2 persen dari seluruh impor AS. Sekarang, hanya 0,8-0,9 persen. Artinya, ada penurunan. Mempertahankan pasar itu lebih penting dibandingkan mencari-cari pasar baru yang belum tentu menjanjikan," katanya.
Sekadar informasi, selain AS dan Inggris, Uni Eropa juga berencana melakukan pengetaÂtan impor. Pasalnya, Parlemen Eropa dan European Council menyetujui proposal modernisaÂsi kebijakan trade remedy pada akhir 2016.
Trade remedy adalah suatu instrumen yang dapat diambil dan digunakan secara sah dan diatur dalam perdagangan dunia untuk melindungi industri dalam negeri dari kerugian serius atau ancaman akan terjadi kerugian serius akibat praktik dagang yang tidak adil atau adanya lonÂjakan impor dan perkembangan tidak terduga.
Sama seperti AS, pengetatan juga dilakukan Uni Eropa dilaÂtarbelakangi makin tingginya serbuan produk-produk murah asal China. Akibatnya industri domestik Uni Eropa kalah bersaing dan gulung tikar. Uni Eropa kabarnya akan menerapkan kebijakan pajak impor lebih tinggi.
Pangkas Ekonomi Dunia
Bank Dunia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia menjadi 2,7 persen taÂhun ini dari sebelumnya yang diproyeksi mencapai 2,6 persen. Pemangkasan ini dilakukan seiring diterapkannya kebijakan proteksi perdagangan oleh AS dan Inggris.
"Tantangan utama ekonomi dunia tahun ini berasal dari dua negara itu. Meningkatnya tekanan dari kebijakan proÂteksi, akan menganggu pasar keuangan. Kinerja pertumbuhan negara maju yang kurang berÂgairah akan menjadi risiko dunia tahun ini," tulis Bank Dunia seperti dikutip, kemarin.
Sebelumnya, Direktur Core Indonesia, Mohammad Faisal menyampaikan perekonomian dunia masih penuh dengan teka-teki. Menurutnya, ketidakÂpastian perekonomian dunia akan memberikan pengaruh terhadap kinerja ekonomi di dalam negeri.
"Pertumbuhan ekonomi IndoÂnesia di 2017 masih akan relatif lambat dan diwarnai ketidakpasÂtian," pungkasnya. ***
BERITA TERKAIT: