AS & Inggris Protektif, Laju Ekspor RI Berpotensi Turun

Kamis, 12 Januari 2017, 09:13 WIB
AS & Inggris Protektif, Laju Ekspor RI Berpotensi Turun
Foto/Net
rmol news logo Dampak negatif dari kebijakan protektif yang dilakukan Amerika Serikat (AS) dan Inggris sulit dielakkan. Laju ekspor Indonesia tahun 2017 diproyeksi mengalami penurunan. Penurunan ekspor terancam makin besar, bila Uni Eropa juga jadi melaksanakan rencana serupa.

Kepala Departemen Peneli­tian Ekonomi Center for Stra­tegic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri memprediksi pertumbuhan ekspor nasional tahun ini men­capai 3,2 persen. namun dengan catatan, tidak ada negara lain lagi yang mengikuti aksi pro­teksi AS dan Inggris.

"Tahun ini masih bisa meningkat 3,2 persen, walaupun ini di bawah dari apa yang bisa dilakukan. Jika tidak ada kebijakan protektif, seharusnya ekspor Indonesia bisa mencapai 4-5 persen," ujar Yose di Jakarta, kemarin.

Dia melihat, sebenarnya ada potensi terjadi pemulihan ekonomi di negara yang dikenal sebagai mitra dagang Indonesia, seperti China, AS dan Uni Eropa.

Hanya sayangnya, pemulihan tersebut tidak akan memberikan dampak positif terhadap Indo­nesia karena mereka menerap­kan kebijakan protektif.

Kementerian Perdagangan (Kemendag) mencatat, per No­vember 2016 perdagangan sur­plus 837,8 juta dolar AS, atau naik 5,9 persen per bulan (month on month/MoM). Angka tersebut meningkat 21,3 persen secara tahunan (year on year/YoY).

Kinerja ekspor Januari-November 2016 melorot 5,63 persen, namun tetap mencatat­kan surplus sebesar 7,79 miliar dolar AS. Hal ini dikarenakan impor juga menurun sebesar 5,94 persen. Lima negara pe­nyumbang surplus nonmigas adalah AS, India, Filipina, Be­landa, dan Pakistan, dengan total surplus 22,1 miliar dolar AS.

Yose mengapresiasi upaya pemerintah yang terus men­cari negara tujuan ekspor. Na­mun diingatkannya, pemerin­tah agar tidak semerta-merta meninggalkan pangsa pasar di negara yang selama ini men­jadi mitra dagang Indonesia. Sebab sumber pertumbuhan ekonomi saat ini masih berasal dari negara-negara tersebut.

Selain itu, Yose meminta, upaya meningkatkan volume ekspor ke negara-negara lama juga ditingkatkan. Pangsa pasar harus dipertahankan. Pasalnya, ekspor ke mitra dagang utama belakangan mengalami penu­runan.

"Misalnya ke AS. Dahulu ekspor kita ke AS sekitar 1,1-1,2 persen dari seluruh impor AS. Sekarang, hanya 0,8-0,9 persen. Artinya, ada penurunan. Mempertahankan pasar itu lebih penting dibandingkan mencari-cari pasar baru yang belum tentu menjanjikan," katanya.

Sekadar informasi, selain AS dan Inggris, Uni Eropa juga berencana melakukan pengeta­tan impor. Pasalnya, Parlemen Eropa dan European Council menyetujui proposal modernisa­si kebijakan trade remedy pada akhir 2016.

Trade remedy adalah suatu instrumen yang dapat diambil dan digunakan secara sah dan diatur dalam perdagangan dunia untuk melindungi industri dalam negeri dari kerugian serius atau ancaman akan terjadi kerugian serius akibat praktik dagang yang tidak adil atau adanya lon­jakan impor dan perkembangan tidak terduga.

Sama seperti AS, pengetatan juga dilakukan Uni Eropa dila­tarbelakangi makin tingginya serbuan produk-produk murah asal China. Akibatnya industri domestik Uni Eropa kalah bersaing dan gulung tikar. Uni Eropa kabarnya akan menerapkan kebijakan pajak impor lebih tinggi.

Pangkas Ekonomi Dunia

Bank Dunia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia menjadi 2,7 persen ta­hun ini dari sebelumnya yang diproyeksi mencapai 2,6 persen. Pemangkasan ini dilakukan seiring diterapkannya kebijakan proteksi perdagangan oleh AS dan Inggris.

"Tantangan utama ekonomi dunia tahun ini berasal dari dua negara itu. Meningkatnya tekanan dari kebijakan pro­teksi, akan menganggu pasar keuangan. Kinerja pertumbuhan negara maju yang kurang ber­gairah akan menjadi risiko dunia tahun ini," tulis Bank Dunia seperti dikutip, kemarin.

Sebelumnya, Direktur Core Indonesia, Mohammad Faisal menyampaikan perekonomian dunia masih penuh dengan teka-teki. Menurutnya, ketidak­pastian perekonomian dunia akan memberikan pengaruh terhadap kinerja ekonomi di dalam negeri.

"Pertumbuhan ekonomi Indo­nesia di 2017 masih akan relatif lambat dan diwarnai ketidakpas­tian," pungkasnya. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA