Produsen Benang Gigit Jari

Impor Membludak, Daya Saing Lemah

Kamis, 12 Januari 2017, 08:40 WIB
Produsen Benang Gigit Jari
Foto/Net
rmol news logo Pengusaha benang lokal pesimistis bisnisnya tahun ini akan mengalami pertumbuhan. Pasalnya, permintaan pasar dalam negeri masih lesu dan maraknya impor tekstil. Pengu­saha pun gigit jari.

Ketua Umum Asosiasi Pro­dusen Serat dan Benang Fila­men Indonesia (APSyFI) Ravi Shankar berharap, tahun ini arus impor tidak menggilas produk benang dalam negeri. "Industri dalam negeri sudah lama mem­bentuk rantai nilai vertikal yang dapat hancur jika laju impor tidak dapat ditahan," kata Ravi di Jakarta, kemarin.

Karena itu, dia meminta, pe­merintah untuk memberikan perhatian serius terhadap kon­disi kritis industri benang dan tekstil dalam negeri. Regulasi yang tepat sangat diharapkan agar industri strategis ini dapat berjalan lancar.

"Tekstil dan produk tekstil (TPT) punya kemampuan un­tuk meningkat pesat, tapi tentu harus didukung oleh regulasi yang tegas untuk memproteksi," kata Ravi.

Saat ini, kata Ravi, konsumsi TPT meski tidak besar tapi cenderung bertumbuh sehingga masih dapat menggerakkan industri dalam negeri. Namun, sangat disayangkan jika pertum­buhan permintaan itu dinikmati oleh produk impor.

Apalagi, pemerintah dalam Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RPIN) 2015- 2035 menempatkan TPT sebagai prioritas nasional. "Selisih harga yang besar membuat produk impor menguasai pasar. Ini tidak dapat diterima karena besaran­nya bertentangan dengan logika bisnis," tukas Ravi

Sekretaris Jenderal APSyFI Redma Gita Wirawasta mengata­kan, angka impor kain pada peri­ode 2015-2016 berada di atas 50 persen. Bahkan, untuk kain rajut impornya naik 87 persen.

Menurut Redma, impor kain hanya dapat dilakukan oleh produsen sebagai bahan baku dan tidak dapat dipindah tan­gankan. Hal itu sesuai dengan Peraturan Menteri Perdagangan Permendag No.85 Tahun 2015 tentang Ketentuan Impor Tekstil dan Produk Tekstil.

Namun, dia menduga, ban­yak importir menjual bahan bakunya. Padahal izin yang dikantongi adalah izin produsen. "Ada sekitar 50 importir, tapi 10 terbesar sudah mengimpor seki­tar 40 persen dari total impor. Total impor bisa sampai 87.000 ton," katanya.

Redma menambahkan, saat ini utilisasi produksi nasional untuk benang dan kain sudah berada di bawah 50 persen. Padahal pada semester I-2016, utilitas pabrik serat tercatat masih 70 persen.

Selain itu, penetrasi barang impor yang masuk mencapai 40 persen dari konsumsi sebesar 1,3 juta ton benang pintal dan fila­men. Hal itu diperparah dengan harga barang impor yang lebih murah hingga 25 persen dari barang lokal.

Hal senada dikatakan Sekjen Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ernovian G Ismy. Menurut dia, pelaku industri tekstil dan produk tekstil pesimis dapat tumbuh di atas pertumbuhan ekonomi nasional tahun ini, kar­ena menghadapi ketidakpastian ekonomi global dan tantangan di pasar domestik.

"TPT dapat tumbuh 1-2 persen sudah bagus untuk tahun ini. Pa­dahal dulu bisa tumbuh hingga 9 persen," kata Ernov.

Direktur Utama PT Star Petro­chem Tbk Asep Mulyana men­gatakan, pasar benang ekspor dan dalam negeri sedang tidak bagus. "Penjualan untuk pasar ekspor sedang tidak bagus dalam dua tahun terakhir," terangnya.

Salah satu negara tujuan ek­spor yang lesu adalah Timur Tengah. Karena itu, perseroan terpaksa memfokuskan pen­jualan ke pasar lokal untuk mengisi kelesuan pasar ekspor. "Intinya memang tahun ini masih lokal," ungkapnya. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA