Ketua Umum Asosiasi ProÂdusen Serat dan Benang FilaÂmen Indonesia (APSyFI) Ravi Shankar berharap, tahun ini arus impor tidak menggilas produk benang dalam negeri. "Industri dalam negeri sudah lama memÂbentuk rantai nilai vertikal yang dapat hancur jika laju impor tidak dapat ditahan," kata Ravi di Jakarta, kemarin.
Karena itu, dia meminta, peÂmerintah untuk memberikan perhatian serius terhadap konÂdisi kritis industri benang dan tekstil dalam negeri. Regulasi yang tepat sangat diharapkan agar industri strategis ini dapat berjalan lancar.
"Tekstil dan produk tekstil (TPT) punya kemampuan unÂtuk meningkat pesat, tapi tentu harus didukung oleh regulasi yang tegas untuk memproteksi," kata Ravi.
Saat ini, kata Ravi, konsumsi TPT meski tidak besar tapi cenderung bertumbuh sehingga masih dapat menggerakkan industri dalam negeri. Namun, sangat disayangkan jika pertumÂbuhan permintaan itu dinikmati oleh produk impor.
Apalagi, pemerintah dalam Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RPIN) 2015- 2035 menempatkan TPT sebagai prioritas nasional. "Selisih harga yang besar membuat produk impor menguasai pasar. Ini tidak dapat diterima karena besaranÂnya bertentangan dengan logika bisnis," tukas Ravi
Sekretaris Jenderal APSyFI Redma Gita Wirawasta mengataÂkan, angka impor kain pada periÂode 2015-2016 berada di atas 50 persen. Bahkan, untuk kain rajut impornya naik 87 persen.
Menurut Redma, impor kain hanya dapat dilakukan oleh produsen sebagai bahan baku dan tidak dapat dipindah tanÂgankan. Hal itu sesuai dengan Peraturan Menteri Perdagangan Permendag No.85 Tahun 2015 tentang Ketentuan Impor Tekstil dan Produk Tekstil.
Namun, dia menduga, banÂyak importir menjual bahan bakunya. Padahal izin yang dikantongi adalah izin produsen. "Ada sekitar 50 importir, tapi 10 terbesar sudah mengimpor sekiÂtar 40 persen dari total impor. Total impor bisa sampai 87.000 ton," katanya.
Redma menambahkan, saat ini utilisasi produksi nasional untuk benang dan kain sudah berada di bawah 50 persen. Padahal pada semester I-2016, utilitas pabrik serat tercatat masih 70 persen.
Selain itu, penetrasi barang impor yang masuk mencapai 40 persen dari konsumsi sebesar 1,3 juta ton benang pintal dan filaÂmen. Hal itu diperparah dengan harga barang impor yang lebih murah hingga 25 persen dari barang lokal.
Hal senada dikatakan Sekjen Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ernovian G Ismy. Menurut dia, pelaku industri tekstil dan produk tekstil pesimis dapat tumbuh di atas pertumbuhan ekonomi nasional tahun ini, karÂena menghadapi ketidakpastian ekonomi global dan tantangan di pasar domestik.
"TPT dapat tumbuh 1-2 persen sudah bagus untuk tahun ini. PaÂdahal dulu bisa tumbuh hingga 9 persen," kata Ernov.
Direktur Utama PT Star PetroÂchem Tbk Asep Mulyana menÂgatakan, pasar benang ekspor dan dalam negeri sedang tidak bagus. "Penjualan untuk pasar ekspor sedang tidak bagus dalam dua tahun terakhir," terangnya.
Salah satu negara tujuan ekÂspor yang lesu adalah Timur Tengah. Karena itu, perseroan terpaksa memfokuskan penÂjualan ke pasar lokal untuk mengisi kelesuan pasar ekspor. "Intinya memang tahun ini masih lokal," ungkapnya. ***
BERITA TERKAIT: