"Interkoneksi bukanlah suatu komoditas untuk mengambil untung dan bukan berpotensi merugikan perusahaan. Penurunan biaya interkoneksi bisa berdampak besar pada efektifitas biaya bagi pengguna telepon. Ini justru menguntungkan rakyat, harus didukung," jelas Sekjen Lingkar Studi Mahasiswa (Lisuma) Al Akbar Rahmadillah kepada redaksi, Kamis (1/9).
Menurutnya, Telkomsel mengklaim akan mengalami kerugian dari selisih biaya interkoneksi yang diturunkan. Telkomsel dikatakan meminta MTR atau biaya interkoneksi sebesar Rp 285, sementara Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menyampaikan hasil evaluasi hanya sebesar Rp 204.
"Selisih angkanya Rp81. Ini yang dikalikan MoU dan diklaim sebagai kerugian," beber Akbar.
Adapun, laporan keuangan Telkomsel pada 2015 mencatat bahwa MoU voice adalah Rp 225 per menit, dan jika kerugian Rp 81 dikalikan dengan angka itu maka kerugian mencapai Rp 81 triliun. Jika diakumulasikan selama lima tahun maka mendekati angka Rp 100 triliun atau rugi sebesar Rp 1,5 triliun per bulan. Padahal, uang tersebut adalah hak konsumen sebagai pemakai jasa telekomunikasi.
Sementara itu, operator lain berani menerapkan tarif telepon di bawah Rp 80 per menit. Sehingga disimpulkan operator lain tidak mengambil hak dari masyarakat.
"Cara ini adalah alat penghambat persaingan oleh operator penguasa pasar luar Jawa. Jadi, Telkomsel mengambil hak uang masyarakat," demikian Akbar.
[wah]
BERITA TERKAIT: