Direktur Utama Telkomsel Ririek Adriansyah menyatakan, perhitungan tarif interkoneksi sejatinya diatur dalam Undang-undang 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.
"Intinya interkoneksi harus berbasis biaya masing-masing operator lantaran kemampuan membangun operator ini berbeÂda-beda," ujar Ririek.
Selama ini, sambung dia, tarif interkoneksi diatur secara simetris menggunakan data angka Telkomsel sebagai operator dominan. Perhitungannya pun sesuai dengan kesepakatan di antara operator selular yang menÂjalankan bisnisnya di Indonesia.
"Sementara, tarif baru inÂterkoneksi yang akan berlaku September nanti kan belum ada kesepakatan, tapi Kominfo suÂdah ketok palu. Kami tidak puas, kami dan Telkom Group sudah memberikan respons resmi atas surat edaran itu. Tetapi sejauh ini belum ada respons dari Kominfo," tegas Ririek.
Ia melanjutkan, di aturan meÂmang tidak disebutkan perhiÂtungan tarif interkoneksi harus berdasarkan metode simetris atau asimetris. Yang disebutkan adalah berbasis biaya masing-masing operator, tetapi karena operatornya berbeda-beda maka dalam arti luas jaringan, biaya dan lainnya.
"Yang paling menentukan adalah luas jaringan, karena operator yang punya 10 menara pemancar (BTS) dan 1.000 BTS kan biayanya berbeda. Kalau ada operator yang punya 10 BTS dan 1.000 BTS dibayar sama maka yang punya BTS sedikit nggak bakal mau bangun agresif, kalau pada akhirnya dibayar sama dengan punya 1.000 BTS. Padahal seharusnya, interkoneksi nggak boleh ambil untung karena itu
cost recovery," jelas Ririek.
Keuntungan MenurunPengamat Telekomunikasi Nonot Harsono menilai semua pihak baik perusahaan, Kominfo selaku regulator hingga Dewan PerwakiÂlan Rakyat di Senayan harus meliÂhat kasus ini dengan jernih.
Pasalnya, biaya interkoneksi adalah biaya yang dikeluarÂkan operator untuk melakukan panggilan lintas jaringan, yang artinya, tarif interkoneksi buÂkan bisnis tapi kewajiban dari operator penyelenggara layanan telekomunikasi.
"Nggak ada ruginya. Yang jadi masalah saat ini kan adalah besaÂrannya, di mana Telkomsel merasa dirugikan jika tarifnya turun. Padahal, kalau melihat Rata-rata Pendapatan Per Menit (ARPM) dari laporan keuangan Telkomsel tahun 2015 hanya Rp 162 rupiah, artinya mereka masih untung kalau pemerintah menetapkan harga baru Rp 204, memang keunÂtungannya menurun," kata Nonot kepada
Rakyat Merdeka.
Ia melanjutkan, semua pihak juga harus melihat keuntungan lain yang didapat masyarakat dengan turunnya tarif inÂterkoneksi, yaitu tarif telepon selular akan turun.
"Ini yang harus dikawal, kalau nanti tarif interkoneksi turun, seÂmua operator harus menurunkan tarif panggilannya. Masyarakat akan diuntungkan, karena bisa menelepon lebih murah. Ada sisi positifnya juga kan," tegasnya.
Kepala Pusat Informasi dan Humas Kemkominfo Ismail Cawidu mengatakan, pemerintah menyadari kebijakan yang akan ditetapkan nantinya mungkin tidak dapat memenuhi keinginan semua pihak. Namun pihaknya tetap berpedoman pada manfaat yang lebih luas bagi masyarakat dan industri.
"Pemerintah menegaskan kembali, tujuan dari penyempurÂnaan tarif interkoneksi tak lain dan tak bukan adalah untuk menÂdorong iklim kompetisi yang sehat serta menjaga pertumbuÂhan industri guna memberikan manfaat dan kemudahan bagi konsumen," tuntasnya.
Seperti diketahui, Kominfo sudah memutuskan tarif baru interkoneksi mulai 1 September sebesar Rp 204, turun dari sebelumnya Rp 250 untuk seluruh operator seluler di Indonesia. ***
BERITA TERKAIT: