"Ini adalah kebijakan yang pro rakyat, karena yang merasakan ini adalah rakyat secara langsung," ujar Sekretaris Jenderal Lingkar Studi Mahasiswa (Lisuma), Al Akbar Rahmadillah dalam rilis.
Seperti diketahui, tarif interkoneksi atau biaya bicara melalui operator telekomunikasi yang berbeda menjadi polemik belakangan ini. Sebab, tarif off-net, istilah bagi pelayanan interkoneksi ini, dinilai masih terlampau tinggi. Penurunan tarif interkoneksi sebesar 30 persen menurut banyak pengamat telekomunikasi kurang mengakomodasi kebutuhan masyarakat.
"DPR sebagai kepanjangan tangan dari suara rakyat seharusnya mendukung kebijakan ini, karena rakyat bisa menikmati layanan telekomunikasi secara terjangkau," imbuhnya.
Sekjen organisasi akademisi itu melihat adanya dasar aturan yang kuat dari pemerintah terkait tarif interkoneksi ini. Intinya, ada negara yang hadir dalam memberi layanan telepon bagi rakyat, meskipun operator telekomunikasinya berbeda-beda. Sehingga hak-hak warga Indonesia untuk berkomunikasi antara satu dengan lain bisa terjamin.
Selama ini, menurut Akbar, tarif interkoneksi yang melambung tinggi, khususnya di Indonesia bagian Timur sangat memberatkan. Bahkan, dia juga mengamati ada pihak tertentu yang menggiring isu interkoneksi ke arah kerugian negara. Pandangan tersebut dikatakan salah besar, apalagi merugikan PT Telkomsel, operator pelat merah.
Berdasarkan laporan keuangan, pendapatan Telkomsel untuk layanan suara per menit mencapai Rp 105.
"Sehingga tarif interkoneksi yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 204, sudah dua kali lipat dari harga Telkomsel. Dan ini tidak merugikan Telkomsel yang merupakan afiliasi dari BUMN PT Telkom," ujar Akbar
.[wid]
BERITA TERKAIT: