BPS mencatat gini ratio Maret 2016 sebesar 0,397 atau turun dari posisi bulan yang sama tahun lalu sebesar 0,408, mauÂpun bulan September 2015 yang sebesar 0,402. Sekadar informasi, koefisien gini dibagi menjadi tiga indikator yakni kurang dari 0,3 persen menunÂjukkan ketimpangan rendah. Antara 0,3 sampai 0,5 persen menunjukan ketimpangan tingÂkat menengah. Dan, lebih dari 0,5 persen menunjukkan ketimÂpangan tinggi.
Kepala BPS Suryamin menÂjelaskan, berdasarkan hasil statistik terakhir, bulan Maret 2016, terjadi pergeseran pengeÂluaran masyarakat.
"Pengeluaran masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah meningkat. Sebaliknya, masyarakat berpenghasilan tinggi menurun. Ini berarti ada pemerataan," kata Suryamin dalam konferensi pers di kanÂtornya, Jakarta, kemarin.
Data BPS menyebutkan ada beberapa faktor yang mempengaruhi penurunan tingkat ketimpangan pengeluaran. Antara lain, pertama, kenaiÂkan upah buruh harian dari Rp 46.180 per hari pada Maret 2015 menjadi Rp 47.559 per hari pada Maret 2016 atau naik 2,99 persen.
Kedua, kenaikan upah buruh bangunan dari Rp 79.657 per hari pada Maret 2015 menjadi Rp 81.481 per hari pada Maret 2016 atau naik 2,29 persen.
Ketiga, berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), terjadi peningkatan jumlah pekerja bebas pertanian dari 5,1 juta orang pada Februari 2015 menjadi 5,2 juta orang pada Februari 2016. Sejalan dengan itu pula, terjadi peningkatan jumlah pekerja bebas non perÂtanian dari 6,8 juta orang pada Februari 2015 menjadi 7,0 juta orang pada Februari 2016.
Keempat, rata-rata pengeluaran per kapita per bulan penduduk 40 persen terbawah meningkat dari Rp 371.336 pada Maret 2015 menjadi Rp 416.489 pada September 2015. Adapun pada Maret 2016 meningkat lagi jadi Rp 423.969.
Dan, kelima, kenaikan pengeluaran yang merefleksiÂkan peningkatan pendapatan kelompok penduduk bawah, tidak lepas dari upaya pemÂbangunan infrastruktur padat karya, bantuan sosial, serta perbaikan pendapatan PNS goÂlongan bawah.
Suryamin mengatakan, ketimpangan pengeluaran di perkotaan lebih parah dibandingkan dengan ketimpangan di perdesaan.
"Ukuran Bank Dunia juga menujukkan hal yang sama, yaitu di perkotaan tergolong ketimpangan sedang atau di bawah 17 persen sementara di perdesaan tergolong ketimpangan rendah di atas 17 persen," jelasnya.
Dia menyebutkan, daerah yang mengalami ketimpangan pengeluaran tertinggi yakni Provinsi Sulawesi Selatan yaitu, sebesar 0,426. KemuÂdian, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebesar 0,420. Dan, ketiga, Provinsi Gorontalo sebeÂsar 0,419. Sedangkan, daerah dengan peringkat ketimpangan pengeluaran terendah yakni Provinsi Bangka Belitung denÂgan rasio sebesar 0,275, Provinsi Maluku Utara dengan ratio 0,286, dan Kalimantan Utara dengan ration 0,300.
Ragukan Rilis BPS Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati meraguÂkan rilis BPS tersebut. MenurutÂnya, jika kelompok 20 persen teratas konsumsinya menurun, sedangkan 20 terbawah mengaÂlami perbaikan, kurang masuk akal. Alasannya, inflasi tertinggi berasal dari volatile food 8 persen. Sementara inflasi secara umum di bawah 4 persen.
"Volatile food justru mengÂhantam pendapatan 40 persen ke bawah, yang ke atas nggak ngefek (berpengaruh). Kecuali harga parfume, atau sepatu naik. Ini kan justru yang non pangan inflasinya rendah," kata Enny.
Enny menilai, sampai saat ini kondisi nyata masyarakat kecil belum mengalami perÂbaikan. Pengeluaran mereka banyak kesedot tingginya harga pangan.
Enny mengingatkan BPS jangan main-main dengan data. Karena, data BPS dijadikan landasan pemerintah dalam mengambil kebijakan.
"Saya ingin mengingatkan BPS kan lembaga independen, semua hasil publikasinya harus kredibel, karena kalau nggak nanti terjadi perbedaan. Kalau data nggak valid, justru akan menjerumuskan bangsa, karena data itu sebagai basis kebijakan," pungkas Enny. ***
BERITA TERKAIT: