Direktur Raya Indonesia, Hery Chariansyah menilai Permenperin Nomor 63 bertentangan dengan banyak kebijakan pemerintah yang lain. Aturan itu dinilai tidak mendukung pemerintah menciptakan sumber daya manusia berkualitas.
"Kami tidak tahu alasannya padahal kementerian kesehatan sedang dalam program menurunkan jumlah prevalensi perokok, kemudian pemerintahan Jokowi sedang fokus menguatkan sumber daya manusia,†ujar Herry.
Disinggung apakah penolakan ini semata karena dukungan farmasi atau kelompok anti tembakau, Hery menilai hal itu terlalu naif. Ia menegaskan bahwa dirinya tidak antitembakau dan hanya minta pemerintah melakukan pengendalian tembakau dan bukan penutupan.
"Kalau ada kelompok menyebut bahwa gerakan ini dikaitkan dengan industri farmasi, itu terlalu mengaitkan,†tangkisnya.
Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Perserikatan Rokok Indonesia (Gappri) Ismanu Sumiran, menegaskan, industri kretek telah memunculkan rokok nasional yang khas Nusantara. Kretek telah menggantikan dominasi sigaret putih mesin (SPM), rokok tanpa cengkeh yang diproduksi hamper semua industri rokok multinasional.
Argumentasi bahwa rokok dianggap sebagai produk berbahaya dan jadi penyebab kematian nomor satu di dunia, sangat provokatif, tendensius, dan kebohongan yang terencana. Pasalnya, tidak pernah didukung bukti klinis yang konkrit, tekannya.
Ismanu menambahkan, anggapan Permenperin 63 menihilkan sektor kesehatan juga berlebihan. Konstitusi Negara Indonesia menitahkan negara wajib berlaku adil dan memberikan kesempatan seluasnya bagi semua pihak untuk berusaha.
"Perlu dicurigai, mengapa pegiat kesehatan ini lebih memilih berkampanye melawan asap tembakau," ujarnya.
Adapun tudingan terjadinya PHK semata karena industri, menurut Ismanu cara pandang keliru, justru dalam 10 tahun terakhir PHK makin membesar akibat kampanye negatif kelompok anti tembakau seperti YLKI, Komnas Perlindungan Tembakau, dan diikuti oleh pemerintah dengan program "diversifikasi tanaman tembakau".
[wid]
BERITA TERKAIT: