Direktur Eksekutif Suara Indonesiaku Siek Tirto Soeseno menjelaskan, divestasi itu diatur Peraturan Pemerintah Nomor 77/2014 yang disahkan 14 Oktober 2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Menurutnya, meski penanggalan itu tidak diatur namun penjadwalan tanggal jatuh tempo sebagai bagian dari teknis aturan yang disandarkan pada keputusan Kementerian ESDM.
"Tentu PT Freeport Indonesia kena jerat divestasi, sebab termasuk perusahaan penambang yang melakukan kegiatan tambang bawah tanah," ujar Tirto kepada redaksi, Sabtu (19/12).
Doktor Ilmu Politik dari Universitas Indonesia itu menjelaskan, walau di dalam PP, tahun 2015 Freeport harus mendivestasikan sahamnya, namun ternyata dalam realisasinya adalah alokasi 20 persen terlebih dahulu pada tahun ini, dan 10 persen pada lima tahun pasca PP disahkan yakni tahun 2019.
"Lalu, divestasi Freeport itu seperti menjadi produk unggulan Menteri Sudirman Said. Kemungkinan besar hal itu yang diintip oleh mantan Ketua DPR Setya Novanto, sehingga Setnov diduga memotori pertemuan dengan pihak Freeport yang sampai-sampai membuat kursinya sebagi ketua DPR melayang," beber Tirto.
Kalau ditilik sedemikian rupa, kasus Setnov akhirnya menguak banyak hal, bahkan teramat banyak sampai hal yang tidak terkait Freeport juga terkuak. Namun, yang unik dari kewajiban divestasi 30 persen itu ternyata pada tahun ini Freeport hanya wajib melepaskan 20 persen.
"Setnov mungkin hanya mengetahui angka 20 persen tersebut, maka dia yakin. Sehingga muncul dugaan pencatutan saham 11 persen untuk Presiden Joko Widodo dan 9 persen untuk Wapres Jusuf Kalla mengemuka," paparnya.
Ternyata, Setnov tidak mengetahui detail bahwa saham yang riil ditawarkan Freeport tahun ini hanya 10,64 persen. Lantaran sebelumnya pemerintah Indonesia telah memiliki saham Freeport sebesar 9,36 persen.
"Jadi, timbul pertanyaan mendasar bagi publik, saham sebesar 9,36 persen di Freeport itu sejak kapan diberikan, bagaimana cara perolehannya dan kepada siapa diberi. Sebab, kalau memang itu sudah didapatkan pemerintah lantas kenapa Kementerian ESDM masih mengharuskan mereka mendivestasi 20 persen di tahun ini," tanya Tirto.
Atau kenapa mengharuskan Freeport divestasi 30 persen, kenapa tidak di angka 20,64 persen jika memang sebelumnya sudah ada saham pemerintah sebesar 9,36 persen.
Tirto menilai, akses informasi yang dimiliki Setnov terhadap kinerja antara Menteri ESDM Sudirman Said dengan Freeport diduga melahirkan pertemuannya dengan pengusaha migas Riza Chalid dengan pihak Freeport yang diwakili Maroef Sjamsoeddin selaku presiden direktur yang memunculkan polemik 'papa minta saham'.
"Tentu mungkin Setnov mengajak Riza karena alasan tertentu. Dugaan kami, alasan terkuat Setnov adalah untuk menjadikan Riza sebagai sumber dana dalam mewujudkan niat Setnov dalam pertemuan tersebut," papar dia.
Lanjutnya, adalah sisa divestasi sebesar 10 persen itu harus ditawarkan pada tahun kelima pasca PP disahkan yakni tahun 2019. Ternyata, tahun itu juga bertepatan dengan dimulainya pembicaraan tentang keberlanjutan keberadaan konsesi Freeport di Indonesia.
"Itu seperti suatu aturan cicilan yang jamak dikenal dalam bisnis murni. Namun, agak mengherankan jikalau Kementerian ESDM bisa secerdas itu menelurkan aturan sedemikian rupa dalam bentuk PP. Sekarang saat yang tepat bagi DPR untuk menelusurinya," jelas Tirto.
Apalagi, tahun 2019 menjadi titik emas periode kedua bagi Freeport, karena di tahun itu baru bisa dimulai pembahasan terkait perpanjangan konsesi selanjutnya.
"Nampaknya seperti ada kesengajaan menjadikan PP itu sebagai bagian dari suatu momen, entah bagi pemerintah atau malah bagi Freeport dalam kaitan perpanjangan konsesi tersebut," katanya.
Tirto menilai, sebenarnya kondisi carut-marut tersebut menjadi awal dari inti kegaduhan yang tercipta pasca rekaman pertemuan Setnov, Riza dan Maroef dibongkar oleh bos Freeport tersebut.
"Seperti ada keuntungan bagi Freeport jikalau mereka membuka ke publik. Itu yang belum bisa kita lihat bersama," imbuh Tirto.
[wah]
BERITA TERKAIT: