Hal ini dikatakan Hafisz menanggapi keberatan dan protes PT Inalum. Perusahaan milik BUMN tersebut keberatan dengan langkah Pemerintah Provinsi Sumatera Utara yang menagih pajak air permukaan (PAP) terhadap Inalum berdasarkan tarif industri progresif sebesar Rp 1.444/m3, di mana pajak selama setahun PT Inalum (Asahan II) mencapai Rp 500 miliar lebih. Oleh karenanya, PT Inalum meminta Pemprov Sumut untuk mengganti beban pajaknya berdasarkan tarif pembangkit listrik, bukan tarif industri.
"Sepanjang ini Inalum cukup moncer dalam hal mencetak laba. Saya kira pemerintah pusat dan kementerian terkait serta Pemda Sumut yang harus clear-kan," kata Hafisz di Jakarta, Kamis (3/12).
Hafisz menyayangkan persoalan tersebut bisa berlarut-larut. Padahal semestinya bisa cepat diatasi karena keduanya sama-sama bagian dari pemerintahan. Hal ini penting segera diselesaikan, apalagi Inalum merupakan salah satu BUMN yang cukup besar memberikan keuntungan bagi negara.
Ia pun menyarankan agar ada perbaikan aturan birokrasi dalam industri dan dunia usaha. Tujuannya agar tercapai pertumbuhan ekonomi sesuai target. Hafisz pun mencontohkan, perbaikan itu dengan terciptanya kesepemahaman aturan antara di pemerintah kabupaten, pemerintah provinsi, hingga pemerintah pusat.
"Yang jelas keputusan menteri harus bisa diterima oleh kepala daerah. Jika ada perbedaan persepsi maka harus diselesaikan oleh tingkat di atasnya. Tidak boleh bupati beda dengan gubernur dan gubernur beda dengan kementrian, apalagi beda dengan PP (Peraturan Pemerintah)," ujarnya, menegaskan.
Sementara itu, pakar dan praktisi hukum Indonesia, Prof. Dr Bismar Nasution menjelaskan, dalam Pasal 9 ayat (3) Pergubsu ditafsirkan hanya untuk pembangkit listrik PLN (Persero), maka terhadap PT. Inalum (Persero) dikenakan harga dasar Air Permukaan berdasarkan kubikasi air mengalir untuk golongan industri berdasarkan Lampiran I dan Lampiran II Pergubsu, sehingga jumlah pajak terhutang PT. Inalum (Persero) menjadi sangat besar karena dihitung berdasarkan kubikasi air mengalir.
Namun ia menegaskan, sejumlah Pergub di berbagai provinsi yang mengatur Pajak Air Permukaan, secara umum menggunakan acuan Rp per Kwh untuk pembangkit listrik PLN maupun non-PLN.
"Bukan menggunakan kubikasi air mengalir sebagaimana dalam Pergubsu," tandasnya.
[wid]
BERITA TERKAIT: