Demikian ditegaskan Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq dalam rilis yang diterima redaksi, Kamis (5/11). Pasalnya, menurut politisi PKS ini, pihak pemerintah sudah menjelaskan tidak ada pelanggaran peraturan perundang-undangan dalam kerjasama penggunaan frekuensi 3G antara Indosat dan IM2.
"Keputusan MA bisa menjadi preseden buruk bagi industri telekomunikasi," tegasnya.
Dia menegaskan, soal kewajiban Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi, sesuai aturan menjadi kewajiban Indosat. Namun ada perbedaan tafsir hukum antara pemerintah dengan lembaga yudikatif. Ini mengakibatkan adanya ketidakpastian hukum.
Mahfudz menambahkan lagi, putusan hukum atas kasus IM2 juga meresahkan kalangan industri telekomunikasi yang makin berkembang dan memungkinkan skema kerjasama antara pengelola infrastruktur dengan pengelola jasa bidang telekomunikasi.
Terkait masih ada peluang hukum PK yang kedua kali, dia mengatakan harus ada titik temu pandangan hukum antara pemerintah dengan Mahkamah Agung mengenai peraturan perundang-undangan di bidang telekomunikasi.
‎Kasus IM2 ini juga berdampak pada riskannya ide model multiplexing yang diusulkan pemerintah dalam RUU Penyiaran. Sebab, model multiplexing dalam digitalisasi penyiaran ujar Mahfudz, akan memunculkan skema pengelolaan infrastruktur frekuensi yang bisa dikerjasamakan penggunaannya dengan pihak pengelola jasa isi siaran.
"Ini pola kerjasama yang mirip antara Indosat dan IM2. Kasus ini membuat semakin mendesak revisi UU Telekomunikasi agar mampu menegaskan aturan yang selama ini bisa multitafsir," demikian Mahfudz.
[dem]