Direktur Pengolahan PerÂtamina Rachmad Hardadi menÂgatakan, kilang RFCC mampu memproduksi bahan bakar gasoÂline setara RON 92 (Pertamax), dan bisa meningkatkan produkÂsi elpiji nasional, menambah produk bahan bakar minyak serta meningkatkan marjin kilang.
"Kilang baru tersebut, akan ada penambahan produksi di unit Refinery IV Cilacap dari sebelumnya 350 ribu barel per hari menjadi 412 ribu barel per hari. Targetnya, Agustus sudah bisa diproduksi," terangnya.
Dijelaskannya, kapasitas kilang RFCC saat ini masing-masing untuk Pertamax sebanÂyak 62.000 bph, elpiji 10.000 bph dan propylene sekitar 5.177 bph, LPG sekitar 11.625 bph, hingga produk C5 dan gasoline mencapai 37.586 bph.
Dengan adanya tambahan haÂsil produksi tersebut, diharapÂkan pihaknya dapat mengurangi impor HOMC yakni bahan bakar minyak (BBM) berkadar RON tinggi.
"Kapasitas pengolahan kilang RFCC akan sesuai dengan volume yang ditargetkan. Di mana kapasitas 350.000 barel itu, 45 persen kapasitasnya untuk memproduksi solar," jelasnya.
Sebelumnya, proyek RFCC telah melakukan pemasanÂgan tiang pancang pertama pada November 2011 lalu, dengan nilai investasi 850 juta US dolar atau setara sekitar Rp 11 triliun.
Awalnya, Pertamina menarÂgetkan pembangunan proyek tersebut, selesai pada Desember 2014 sehingga jadwal pengoperasiannya baru akan terlaksana akhir 2015 dengan konsorÂsium PT Adhi Karyah (Persero) Tbk dan Goldstar Co. Ltd dari Korea Selatan.
Menurut Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara, revitalisasi kilang-kilang minyak yang dimiliki pertamina seharusnya sudah dilakukan sejak lima atau 10 tahun lalu. Sebab, kondisi kilang saat ini membuat produksi minyak tidak maksimal.
"Kilang minyak yang ada perlu di upgrade secepatnya, agar bisa lebih maksimal, efisiensi juga bisa meningkat. Kalau itu dilakukan lima, atau 10 tahun lalu, kita bisa menguÂrangi impor bahan bakar minyak," ujarnya kepada
RakyatMerdeka, kemarin.
Bekas anggota DPD RI ini mengatakan, kebutuhan bahan bakar minyak terus meningkat setiap tahunnya antara enam sampai tujuh persen. Sehingga, selain melakukan revitalisasi juga harus diimbangi pembangunan kilang-kilang baru yang tersebar di beberapa daerah.
"Kalau ingin menekan imÂpor, total produksi yang harus dihasilkan Pertamina minimal 1,5 juta barel per hari (bph). Kalau sekarang hanya sekitar 1,1 juta bph, tapi karena kondisi kilangnya sudah lama tidak di upgrade hanya bisa menghasilÂkan sekitar 800 ribu barel per hari. Makanya, impor kita juga tinggi," katanya. ***