Anggota Komisi VI DPR Bidang BUMN dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Primus Yustisio mengatakan, selama ini Pertamina tidak berperan aktif memberikan masukan bagi pemerintah dalam proses penenÂtuan harga jual BBM. Ia menyeÂsalkan, sikap Pertamina yang seolah lepas tangan dan menyerahkan proses penentuan harga BBM kepada pemerintah.
"Seharusnya Pertamina bisa memberikan masukan kepada pemerintah, bukan menzalimi rakyat. Kalau di China bisa diÂpancung," ketus Primus dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Pertamina dengan Komisi VI di Gedung kura-kura, kemarin.
Sedangkan Ketua Komisi VI DPR Hafisz Tohir meminta PerÂtamina berperan aktif memberiÂkan masukan bagi pemerintah dalam proses penetapan harga dengan memperhatikan kemamÂpuan rakyat saat ini.
"Daya beli masyarakat harus dilihat lebih dulu sebelum BBM dinaikkan. Jangan sampai memÂberatkan rakyat," tegas Tohir.
Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto berkilah, selama ini dalam menentukan kebijakan harga BBM pemerintah dan Pertamina telah memperhatikan kemampuan masyarakat.
"Saya rasa kita punya tugas sendiri-sendiri, sesuai dengan kemampuan kita. Berdasarkan peran yang dilakukan pemerintah untuk masyarakat," jelas Dwi.
Kata dia, mandat untuk meÂmasarkan BBM ke daerah peloÂsok-pelosok dari Sabang sampai Merauke membuat beban operasional Pertamina meningkat karena harus mengeluarkan biaya besar untuk mengangkut BBM.
"Swasta diberikan kebebasan jual BBM ke tempat umum, seÂdangkan Pertamina harus suplay dari Sabang sampai Merauke. Kami juga dibebani menyediaÂkan cadangan BBM selama 20 hari, hal tersebut membuat biaya operasional meningkat. PeningÂkatan biaya operasional tersebut akhirnya dibebankan kepada pembeli," kata Dwi.
Soal harga jual BBM nonÂsubsidi, Direktur Pemasaran Pertamina Ahmad Bambang mengatakan, alasan lain kenapa jual BBM Pertamina lebih mahal karena BBM yang dijual PerÂtamina dikenakan Pajak Bahan Bakar Kendaraan (PBBKB) oleh Pemerintah Daerah, sedangkan badan usaha lain tak dikenaÂkan pajak tersebut. Hal ini juga menyebabkan harga jual BBM untuk industri lebih mahal ketimÂbang badan usaha lain.
"Pembayaran PBBKB ke Pemda berbeda-beda, ada 17 persen sampai 10 persen di setÂiap daerah," bebernya.
Seperti diketahui, harga jual BBM Pertamina kerap lebih tinggi jika dibanding dengan Shell mauÂpun Total. Di beberapa SPBU yang beroperasi di Jakarta, PerÂtamina membanderol produk BBM jenis Pertamax Plus 95 di harga Rp 9.850 per liter, Pertamax 92 di harga Rp 8.600 per liter dan Pertamina Dex Rp 11.600 per liter.
Sedangkan perusahaan minyak asal Belanda Shell menjual Produk BBM jenis Super di level Rp 8.700 per liter, V-Power di banderol Rp 9.900 per liter dan Diesel di harga Rp 11.300 per liÂter. Sementara Total membandrol BBM jenis Performance 92 di harga Rp 8.750 per liter, PerforÂmance 95 di harga Rp 9.950 per liter dan Performance diesel Rp 11.500 per liter.
Direktur Executive Energy Watch Mamit Setiawan mengataÂkan, agar harga BBM Pertamina mampu bersaing dengan BBM swasta, pemerintah harus memÂperketat izin SPBU swasta.
Menurutnya, selama ini pihak swasta tidak diberikan beban penyaluran BBM ke seluruh InÂdonesia. Selain itu, swasta juga tidak diwajibkan menyediakan infrastruktur seperti kilang dan pengolahan BBM di Indonesia.
"Ini yang membuat beban keuangan swasta tidak seberat Pertamina. Efek berantainya, mereka bisa jual BBM lebih muÂrah dari Pertamina," kata Mamit kepada Rakyat Merdeka.
Ia mewanti Pertamina agar bisa memberikan harga komÂpetitif sebelum pasar diserobot pihak swasta.
"Kalau ini terus terjadi, konÂsumen akan pindah ke BBM swasta. Selain lebih murah, konÂsumen meyakini kalau yang impor itu pasti lebih baik kualitasnya. Ini akan menambah kerugian bagi negara. Awal tahun saja, Pertamina sudah merugi Rp 2,75 triliun, kalau terus begini akhir tahun bisa-bisa bangkrut," warning dia. ***