Demikian dikatakan Sofyano Zakaria saat dihubungi di Jakarta, Jumat (3/4).
Ia menjelaskan, jika pemerintah prihatin dengan harga gas tabung 12 kilogram yang selalu dikoreksi sesuai harga pasar CP Aramco, maka harus ditetapkan bahwa gas 12 kg sebagai barang yang disubsidi.
"Sepanjang gas tabung 12 kilogram ditetapkan sebagai gas umum atau non-subsidi, maka harga jualnya tetap merupakan kewenangan badan usaha niaga gas," jelasnya.
Menurut Permen ESDM No. 26/2009, gas tabung 12 kg ditetapkan sebagai gas umum yang tidak disubsidi pemerintah, oleh karenanya harga sepenuhnya diatur dan ditetapkan oleh badan usaha niaga elpiji/gas, dalam hal ini adalah Pertamina.
Pertamina hanya wajib melaporkan saja ke pemerintah jika akan menetapkan harga jual. Jadi tidak perlu meminta izin atau meminta persetujuan pemerintah, yang kini sekitar 60 persen kebutuhan gas dalam negeri diimpor, termasuk gas non-subsidi.
Harga gas mengacu ke harga CP Aramco, dan untuk April 2015 berada di kisaran Rp 7 ribu per kg itu di luar ongkos angkut, marjin SPBE, marjin agen, marjin pertamina, PPN, dan biaya-biaya lain.
"Atau menurut perhitungan saya, harga jual gas non-subsidi yang pantas di masyarakat berkisar 13 ribu rupiah atau 150 ribu rupiah per tabung 12 kilogram," ujarnya.
Menurut Sofyano, gas tabung 12 kg karena bukan gas bersubsidi maka penetapan harganya sama dengan harga minyak goreng, gula, atau beras yang harganya mengacu ke harga pasar. Sehingga, tidak memerlukan sosialisasi dari pelakunya. Inilah yang seharusnya disikapi oleh pemerintah.
Selama ini Pertamina terpaksa menjual rugi gas non-subsidi yang kerugiannya mencapai belasan triliun rupiah per tahun. Padahal, Pertamina sebagai perusahaan persero dan sebagai BUMN, menurut PP Nomor 12/1998 tentang Perusahaan Perseroan, diwajibkan memupuk keuntungan, termasuk ketika melakukan tugas PSO (public service obligation) dari pemerintah.
"Jika pemerintah atau pihak legislatif 'memaksa' Pertamina menjual rugi gas tabung 12 kilogram, dan atau Pertamina sengaja secara terus menerus menjual gas non subsidi dengan rugi, maka pemerintah dan Pertamina bisa dikatakan melanggar UU," kata Sofyano.
Karena, sepanjang gas tabung 12 kg tidak ditetapkan secara hukum sebagai gas yang disubsidi, maka pemerintah tidak boleh "mensubsidi" gas non subsidi itu dalam bentuk apapun juga, walau dengan pertimbangan untuk kepentingan masyarakat banyak sekalipun, katanya.
Sementara itu, kerugian yang diderita Pertamina jika menjual gas tabung 12 kilogram di bawah harga keekonomian, tidak bisa ditutupi atau dikompensasi oleh pemerintah dengan pengurangan dividen pemerintah dari keuntungan Pertamina, katanya.
"Mengintervensi badan usaha niaga elpiji yang berbentuk BUMN untuk tujuan dan kepentingan apapun, jelas perbuatan melanggar UU BUMN," tegasnya.
Direktur Puskepi menambahkan, kerugian tetap dicatat dalam pembukuan sebagai kerugian, dan itu tidak bisa ditutupi dengan pemotongan dividen
.[wid]
BERITA TERKAIT: