"Sejak zaman pak Suharto sudah dilarang (pukat harimau) karena merusak ekosistem demi kebaikan kita agar sumber daya alam di laut tetap lestari," kata Ketua DPP Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Pusat bidang Kelautan Perikanan, Andi Yuslim Parawari dalam pernyataannya, Kamis (12/2).
Bahkan larangan ini dipertegas dengan Peraturan Menteri Nomor Nomor 2 Tahun 2015 sebagai bentuk kepedulian untuk mewujudkan Perikanan yang berkelanjutan.
"Tolong diingat potensi kelautan perikanan kita sangat besar sampai sekarang hanya menguntungkan pihak asing yang menjarah kekayaan laut dengan illegal fishing karena kita tidak punya armada besar dan canggih seperti nelayan asing tersebut," ujar AYP, demikian Andi Yuslim disapa.
Hemat dia, sebaiknya tidak semata penegakan hukum. Terpenting pula pemerintah melakukan terobosan baru dengan menyiapkan sarana dan prasarana alat tangkap yang ramah lingkungan. "Buat pagar di perbatasan dengan rumpon ikan, siapkan armada semut dan penampung ikan," usulnya.
Lebih lanjut terkait Permen KP Nomor 1/Permen-KP/2015 tentang larangan menangkap lobster, kepiting dan rajungan, menurutnya, itu langkah yang strategi untuk mempertahankan keberlanjutan sumber daya alam agar tetap lestari.
"Permen ini jangan dilihat manfaatnya hari ini atau besok lusa tapi manfaatnya untuk masa depan anak cucu kita," tegasnya.
"Bagaimana bisa lestari kalau induk lobster, induk kepiting dan rajungan sudah punah? Ini yang harus kita sadari bersama," kata dia, menambahkan.
Untuk menegakkan larangan ini, AYP menyarankan KKP memperbanyak daerah konservasi dan
stocking area untuk pembenihan di daerah yang potensial serta pembudidayaan keramba jaring apung, misalnya. Dengan begitu, ada mata pencarian alternatif masyarakat yang semuanya bisa terukur dan bisa dikendalikan.
[wid]
BERITA TERKAIT: