"Penggantian bendera kapal harus melalui proses yang ditentukan oleh pemerintah. Kalau dalam operasi penangkapan ikan di wilayah perairan Indonesia, kapal tiba-tiba mengganti bendera, itu merupakan manipulasi dan pelanggaran undang-undang yang harus ditindak tegas," kata Sekretaris Jenderal KPI Mathias Tambing di Jakarta, Selasa (30/12).
Mathias Tambing tidak mau menyebutkan pengusaha nasional yang melakukan manipulasi bendera kapal di tengah laut. Namun, penggantian bendera harus diikuti dengan ketentuan tentang pengawakan kapal.
Dikatakan, dalam melakukan penangkapan ikan di perairan Indonesia pengusaha nasional bisa bekerjasama dengan perusahaan asing. Namun dalam penggunaan bendera harus sesuai dengan ketentuan, karena menyangkut soal pengawakan kapal.
Berdasarkan undang-undang perikanan, kapal yang menggunakan bendera asing, jumlah awak kapalnya minimal 70 persen harus diisi oleh pelaut Indonesia. Namun, jika menggunakan bendera Indonesia, seluruh awak termasuk nakhodanya harus berkewarganegaraan Indonesia,†tegasnya.
Tapi dalam kenyataan di lapangan, ketentuan itu banyak dilanggar. Banyak kapal berbendera Indonesia tapi awaknya diisi pelaut asing, antara lain dari Burma dan Vietnam, termasuk kapal perikanan yang dioperasikan pengusaha nasional.
"Pelanggaran ini harus ditindak tegas, karena menutup kesempatan kerja bagi pelaut lokal," tegasnya.
Selain itu, Mathias menilai maraknya kasus
trafficking bagi pelaut Indonesia yang bekerja di kapal-kapal ikan asing. Salah satu contoh kasus penempatan pelaut Indonesia di kapal ikan berbendera Korea ‘FV Oryong 501’ yang tenggelam di perairan Rusia belum lama ini.
Dari 35 pelaut Indonesia yang menjadi awak kapal tersebut, ternyata hanya 6 orang yang dikirim sesuai prosedur. Sebagian besar (29 orang) justru dikirim tanpa prosedur, sehingga tingkat perlindungan dan kesejahteraannya jauh di bawah standar.
"Masih banyak kasus lainnya, termasuk korban trafficking di Selandia Baru, Trinidad & Tobago dan di Afrika Selatan, sehingga mereka dipulangkan ke Indonesia tanpa menikmati hasil kerjanya," bebernya.
Untuk itu, pemerintah harus segera menertibkan dan menindak tegas pengusaha nakal yang mengirim pelaut tanpa prosedur tersebut. Tanpa tindakan tegas, misalnya dengan membekukan atau mencabut izin operasional perusahaan, kasus-kasus yang merugikan pelaut terus berulang.
Menurut Sekjen KPI, kasus-kasus yang menimpa pelaut itu tidak akan terjadi jika dalam proses perekrutan dan penempatannya dilakukan sesuai prosedur yang ditentukan. Mereka harus memiliki dokumen kepelautan, antara lain buku pelaut dan menandatangani PKL (Perjanjian Kerja Laut) yang disahkan oleh instansi yang bertangggung jawab, serta mendapat perlindungan dan kesejahteraan yang jelas.
Sistem perlindungan dan kesejahteraan yang memadai, kata Mathias, hanya dapat diwujudkan melalui Collective Bargaining Agreement (CBA) atau PKB (Perjanjian Kerja Bersama) yang ditandatangani pemilik atau operator kapal dengan KPI. Pelaut yang bekerja di luar negeri, khususnya di kapal-kapal pesiar atau niaga, jarang menghadapi kasus karena mereka telah dilindungi oleh PKB.
Karena itu, pemerintah perlu mendorong para pengusaha kapal, khususnya di sektor perikanan, untuk memberikan perlindungan dan kesejahteraan terhadap awak kapal melalui CBA atau PKB.
Kita sudah menandatangani CBA dengan 132 perusahaan pelayaran internasional, tapi dengan perusahaan perikanan belum mencapai 10,†imbuhnya.
Terkait soal ini, KPI mendesak pemerintah segera menerapkan sistem satu atap dalam proses rekrut, penempatan dan perlindungan pelaut di luar negeri, seperti yang dilakukan POEA (Philipine Overseas Employer Administration) di Filipina. Lembaga satu atap ini perlu diterapkan di Indonesia, sehingga pelanggaran dalam proses penempatan dan perlindungan pelaut ke luar negeri dapat dicegah.
Di sisi lain, Mathias Tambing mengatakan, di tengah pemerintah gencar memberantas illegal fishing, keberadaan nelayan lokal perlu diberdayakan agar menjadi pelaut profesional.
Untuk itu, pemerintah daerah setempat perlu mendidik nelayan lokal mampu menjadi pelaut profesional di kapal-kapal ikan berbendera Indonesia berskala besar. Namun mereka harus mendapat kepastian perlindungan dan kesejahteraan yang memadai.
"Tingkat perlindungan dan kesejahteraan pelaut perikanan selama ini sangat buruk. Pemerintah harus segera memperbaiki kondisi ini, sehingga para pelaut perikanan ikut aktif pemberantasan
illegal fishing," pungkasnya
.[wid]
BERITA TERKAIT: