Digarap Tiga Menteri, Impor Garam Malah Kian Melonjak

Minggu, 28 Desember 2014, 06:17 WIB
Digarap Tiga Menteri, Impor Garam Malah Kian Melonjak
ilustrasi
rmol news logo Pemerintah diminta untuk membuat kebijakan satu pintu un­tuk mencapai target swa­sem­bada garam. Pasalnya, kebijakan yang tumpang tindih saat ini ma­lah menyebabkan impor melonjak.

Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Abdul Halim mengatakan, keber­pihakan pemerintah menjadi kunci tercapainya target swa­sembada garam dan penutupan kran impor. Saat ini, jumlah im­por garam dibandingkan de­ngan produksi nasional lebih dari 80 persen sejak 2010.

 â€Sekedar contoh, pada 2010, produksi garam sebesar 1,621,338 ton, impor 2,080,000 ton. Se­men­tara pada 2014 sebesar 2,190,000 ton, impor 1,950,000 ton,” ujarnya.

Menurut dia, besarnya angka impor disebabkan oleh pe­nge­lolaan garam nasional yang ter­bagi ke dalam tiga kementerian, yaitu Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Kelautan dan Per­ikanan. Tapi beda kewenangan dan tanpa koordinasi,” ujarnya.

Selain itu, pemberdayaan ga­ram rakyat tidak dimulai dari hulu hingga hilir. Dengan terus me­lonjaknya impor garam, kata dia, seharusnya pemerintah men­ja­lankan kebijakan satu pintu. Dia mencontohkan, di India penge­lolaan garam nasional terpusat dikerjakan oleh pemerintah pusat dan lembaga independen, yakni Salt Commissioner’s Office (SCO).

Menurut dia, lembaga tersebut bertugas untuk memastikan bah­wa petambak garam men­da­patkan asuransi jiwa dan kese­hatan, beasiswa sekolah anak mereka dan tempat beristirahat. Lalu, air bersih dan kamar mandi yang layak, kelengkapan alat ke­se­lamatan bekerja, jaminan har­ga, sepeda dan jalan menuju tambak garam yang bagus.

”Di Indonesia tidak diperlukan lembaga baru, asal ada kesung­gu­han politik pemerintah dan kese­diaan bekerjasama dengan ma­sy­a­rakat petambak garam skala ke­cil, impor bisa ditutup dan petam­bak garam sejahtera,” katanya.

Apalagi, pihaknya juga men­catat 65,2 persen anggaran Ke­menterian Kelautan Dan Per­ikanan hanya untuk in­frastruktur dan belanja barang dan jasa. Bukan pemberdayaan nelayan.

Menteri Perencanaan Pem­ba­ngunan Nasional / Kepala Bap­penas Adrinof Chaniago meng­akui, jika pemerintah belum bisa menghentikan impor garam. Menurutnya, meskipun Indonesia memiliki wilayah lautan dua per­tiga dari luas negara dan lautnya terpanjang di dunia, tapi impor garam masih sangat tinggi.

”Seperti kita tahu bersama In­donesia merupakan negara ke­pulauan dengan luas wilayah lautan 2/3 dari luas totalnya. Be­gitu juga garis pantainya terp­a­n­jang di dunia tetapi anehnya sampai saat ini kita masih meng­impor garam,” katanya.

Menurut dia, kondisi ini ber­beda dengan negara tetangga Indonesia, seperti Thailand dan Malaysia. Ia mengatakan, meski ke­dua negara tersebut memiliki lautan tidak sebesar Indonesia, tapi mampu memproduksi garam jauh lebih baik dari Indonesia.

 Tak hanya itu, kata Adrinof, se­lain garam Indonesia, masih di hadapkan pada persoalan impor ikan segar. Bahkan, setiap tahun jumlahnya terus mengalami pe­ning­katan. Karenanya, tidak ada alasan lagi selain kini pemerintah memfokuskan pembangunan pada bidang kamaritiman dan kelautan. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA