Menurut pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani, ekspor saat ini menjadi salah satu tumpuan utama bagi pertumbuhan ekoÂnomi dalam neÂgeri. Industri pulp dan kertas memiliki daya dukung besar, kaÂrena tidak banyak negara yang meÂmiliki kemampuan memproduksi.
Industri pulp dan kertas perlu diberikan insentif kaÂrena mampu mendorong ekÂsÂpor,†ujar dia.
Aviliani mengatakan, inÂsentif bagi industri kertas di antaranya kemudahan reguÂlasi karena dapat mendorong ekspor. Langkah itu untuk menÂdorong perkembangan industri dalam negeri demi meÂnguÂrangi ketergantungan terhaÂdap ekspor bahan menÂtah. Ke deÂpan, industri di Indonesia dihaÂrapÂkan dapat menghasilkan proÂduk ekspor yang berdaya saing.
Dia menerangkan, meski saat ini adalah era teknologi, industri pulp dan kertas diÂprediksi terus berkembang seÂiring pertumbuhan kelas meÂnengah di Indonesia. Di anÂtaranya karena ditopang peÂningkatan kebutuhan kertas tisu dan kemasan.
Saat ini kesadaran orang terÂhadap lingkungan semaÂkin tinggi dengan menguÂrangi penggunaan plastik sehingga beralih ke kerÂtas,†tutur Aviliani.
Direktur Industri Hasil Hutan dan Perkebunan KeÂmenterian PerindusÂtrian (KeÂmenperin) PraÂnata berharap pemerintah tidak memÂperÂpanjang moratorium hutan alam dan lahan gambut pada 2015 agar ketersediaan baÂhan baku untuk industri pulp dan kertas tidak terhambat. SeÂlama ini, pasokan bahan baku untuk industri pulp dan kertas dipasok dari hutan tanaman industri (HTI). Sayangnya, sektor itu banyak menghadapi masalah.
Pranata menilai, industri pulp dan kertas Indonesia saat ini menduduki urutan keÂenam di ASEAN dan ketiÂga di Asia. Karena itu, dia optimistis industri pulp dan kertas nasional mampu menÂduduki posisi terdepan saat diberlaÂkuÂkanÂnya MasyÂarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015. MEA menÂjadi langÂkah awal untuk meÂngemÂbangkan pasar,†ujar dia.
Menurut dia, produk pulp dan kertas seharusnya tidak memerlukan sertifikat Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) karena merupakan produk hilir, yang meÂmanÂfaatkan kayu yang telah meÂngantungi SVLK. SayangÂnya, Kementerian LingÂkuÂngan Hidup dan Kehutanan memiliki pemahaman lain yang berbeda karena semua produk kayu harus memiliki SVLK.
Kondisi ini justru meÂnamÂbah biaya produksi yang seÂharusnya tidak perlu terjadi. Akibatnya, pabÂrik hanya mamÂpu memÂproÂdukÂsi samÂpai pulp saja dan tidak berÂlanjut ke produk kertas seÂhingga daya saing turun.
Wakil Ketua Umum AsoÂsiasi Pulp dan Kertas IndoÂnesia (APKI) Rusli Tan yakin, pemerintah dapat meningÂkatkan ekspor 300 persen pada 2015 atau lebih cepat dari target pemerintah jika memberikan insentif bagi industri pulp dan kertas. Di antaranya, dengan memÂbeÂrikan
Usance Letter of Credit (LC) agar buyer dapat memÂbayar pembelian pulp dan kertas dari Indonesia selama enam bulan.
Dijamin dengan Usance LC ekspor Indonesia pasti melonjak,†tutur Rusli.
Menurutnya, patut diÂperÂtanyakan mengapa minat investasi terutama asing di industri pulp dan kertas miÂnim, mengingat potensi InÂdonesia besar untuk meÂngemÂbangkan sektor tersebut. RusÂli menduga karena adanya ketidakpastian investasi dan peraturan yang tumpang tinÂdih. ***