Komponen BBM subsidi ada dua, yaitu harga dan volume. Di sisi harga, mafia bermain terkait impor BBM. Sementara volume ada di distribusi BBM bersubÂsiÂdi,†ujar anggota Tim ReforÂmasi Tata Kelola Migas Djoko SisÂwanto kepada
Rakyat MerÂdeka di Jakarta, kemarin.
Menurut Djoko, kerugian neÂgara akibat permainan mafia disÂtribusi ini lebih besar dari aksi mafia impor minyak.
Selama ini, kata Djoko, PertaÂmina selalu melaporkan titik seÂrah BBM subsidi hanya sampai di depot BBM, bukan di titik seÂrah terakhir BBM subsidi, yakni di nozel Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU). Nah, seÂlama ini juga sering ada permainÂan ketika mobil truk BBM dari depot tidak sampai ke SPBU tapi lari ke tempat lain.
Djoko membayangkan jika sebuah mobil truk pengangkut BBM dengan isi 10 kiloliter (KL) dijual ke industri dengan dispaÂritas harga antara solar subsidi dengan solar non subsidi yang mencapai Rp 5.000 per liter, maÂka keuntungan mereka bisa temÂbus Rp 50 juta per truk.
Padahal, sudah ada Peraturan Presiden (Perpres) No.15 TaÂhun 2012 di mana titik serah BBM subÂsidi ada di nozel SPBU. Djoko menyayangkan hingga kiÂni hal itu tidak dilakukan PertaÂmina. SeÂmentara, penyalur BBM yang lain seperti AKR CorpoÂrinÂdo dan Surya Parna Niaga sudah melaÂkukan itu dan datanya lengkap.
â€Harusnya cuma satu truk miÂnyak untuk memenuhi kebuÂtuhan BBM SPBU. Tapi dengan adanya penyimpangan, harus kirim satu truk lagi karena pengiriman perÂtama tidak sampai ke tujuan. Itu juga membuat kelangkaan karena lama kosong,†ungkapnya.
Direktur Gas Badan Pengatur Hilir Migas (BPH Migas) ini juga meÂngatakan, meski truk itu samÂpai ke pom bensin, tapi penyaÂlurÂan dari SPBU juga tidak transÂpaÂran. Sekarang, tidak ada data diÂjual ke mana saja BBM subsidi itu oleh SPBU.
Jika dijual ke industri dan truk tambang dan kendaraan yang diÂlarang menggunakan BBM subÂsidi tentu itu salah,†cetusnya.
Menurut Djoko, sedari dulu tiÂdak ada data soal dijual kemana BBM subsidi itu oleh SPBU. MeÂreka juga selalu berÂalasan dengan menolak proÂgram pengendali, misalnya melalui program
Radio Frequency IdentiÂfiÂcation (RFID) dan kartu lainnya.
Padahal program tersebut unÂtuk memantau penjualan BBM subsidi, apakah tepat sasaran atau tidak. Hingga saat ini tidak ada data yang lengkap soal penyaluÂran BBM subsidi,†kritik Djoko.
Karena itu, dia mengaku tidak aneh jika kuota BBM subsidi teÂtap jebol meski harga sudah diÂnaikkan oleh pemerintah. DengÂan lemahÂnya pengawasan ini, tidak aneh juga kegiatan penyeÂlunÂdupÂan BBM masih sering ditemukan.
Djoko menyarankan, sebelum menerapkan sistem subsidi tetap, pemerintah harus memperbaiki penyalurannya supaya tidak terÂjadi penyimpangan BBM subsidi.
Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said mengatakan, akan banyak pihak yang menolak penghapusan subÂsidi BBM.
Soalnya ada rente di situ (sekÂtor BBM), sehingga akan baÂnyak orang yang berusaha memÂperÂtaÂhankan,†ujar Sudirman saat berÂkunjung ke
Rakyat Merdeka, belum lama ini.
Paling Ruwet Di DuniaDirektur Marketing dan Retail Pertamina Ahmad Bambang meÂngakui, distribusi BBM di IndoÂneÂsia dinilai paling ruwet di duÂnia.
Saya pernah katakan distriÂbusi di Indonesia paling ruwet. TermaÂsuk distribusi pakai pesawat. MaÂna ada di dunia distribusi BBM pakai pesawat,†cetus Bambang.
Bambang mengatakan, selama November 2014, harga bensin preÂmium keekonomian alias tanÂpa subsidi adalah Rp 9.000. HarÂga keeknomian premium ini haÂnya beda tipis dibanding harga pertamax, yang saat ini sekitar Rp 9.950 per liter.
Menurutnya, harga BBM terÂsebut sudah didasarkan pada inÂdikator-indikator pembentuk harÂga yang sesuai. PembentukÂnya itu ada harÂga
crude, kemudiÂan harga transÂportasi. Kemudian ada
storage ke masing-masing SPBU dan Pajak,†sebutnya. ***