Industri Tembakau Bisa Jadi Modul Belajar Menteri Perindustrian Baru

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Selasa, 28 Oktober 2014, 10:40 WIB
rmol news logo Menteri Perindustrian yang baru, Saleh Husen harus mampu menerjemahkan masalah yang dihadapi Indonesia dan industri nasional dengan baik. Dengan begitu, industri nasional dapat bangkit kembali dalam menyongsong liberalisasi perdagangan.

Saleh Husen juga harus sanggup menjawab pesisimisme banyak pihak terhadap latar belakang dan kompetensinya, dengan membuat terobosan yang tinggi.
Harapan ini disampaikan peneliti dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (28/10).

Daeng memetakan tiga tantangan pokok industri nasional Indonesia. Pertama, liberalisasi perdagangan dalam bentuk penghapusan bea masuk dan hambatan perdagangan lainnya yang menyebabkan Indonesia dipenuhi dengan barang-barang impor berkualitas rendah.

Tantangan kedua, lanjut Daeng, kebijakan fiskal yang kurang mendukung perkembangan industri nasional seperti dukungan terhadap infrastruktur yang direct dengan industri kecil menengah besar, subsidi dan insentif langsung bagi kalangan industri yang rendah.

"Faktanya, fiskal Indonesia masih sangat berorientasi pada penerimaan, belum berorientasi pada pembangunan industri. Orientasi fiskal masih seperti manajemen dapur ibu rumah tangga yang urusannya hanya uang masuk dan uang keluar," sambungnya.

Tantangan ketiga, standarisasi produk yang belakangan ini gencar dipromosikan oleh rezim internasional dalam seluruh sektor baik yang menggunakan isu lingkungan, kesehatan, standarisasi mutu yang didorong menjadi wajib atau mandatory. Standarusasi ini telah menghambat tumbuh dan berkembangnya industri nasional khususnya kecil menengah.

Untuk dapat memahami masalah ini, Menteri Perindustrian dapat belajar dari karakter industri hasil tembakau (IHT) sebagai satu satunya industri nasional yang besar dan fully integrated dari hulu sampai ke hilir dari bahan mentah, bahan baku, barang jadi hingga pasarnya yang kuat di dalam negeri.

Mengapa IHT sebagai modul belajar? Menurut Daeng, ada tiga hal. Pertama, dalam beberapa waktu terakhir IHT semakin digempur oleh kebijakaan liberalisasi impor. Bea masuk impor tembakau yang mencapai nol persen telah menyebabkan Indonesia digempur oleh tembakau impor. Saat ini lebih dari 110 ribu ton tembakau diimpor setiap tahun dan hampir separuh dari kebutuhan nasional.

"Hal ini sangat membahayakan. Maka itu, Menteri Perindustrian harus mengevaluasi kebijakan pembukaan impor tembakau tersebut," tegasnya.

Poin kedua, kata Daeng, fiskal nasional yang saat ini menjadikan sektor tembakau dan industri rokok sebagai sasaran pemerasan dalam bentuk pemungutan cukai tinggi, yang menyebabkan banyak industri kecil menengah gulung tikar, karena tidak sanggup berkompetisi.

"Kebijakan ini semakin memperbesar penguasaan perusahaan asing seperti Phillip Morris yang memanfaatkan orientasi kebijakan fiskal yang menyerang industri nasional," ujarnya.

Poin ketiga, lanjut Daeng, isu standarisasi produk yang menggunanakan isu kesehatan. Semakin hegemonik dan menemukan pembenaranya. Isu standarisasi seperti mendorong kadar tar rendah, nikotin rendah, konten lainnya.

"Kebijakan standarisasi yang didorong oleh rezim internasional Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) merupakan pintu masuk bagi perusahaan global untuk mendominasi ekonomi tembakau nasional," ujarnya.[wid]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA