Pengamat ekonomi dari LemÂbaga Studi Kebijakan Publik (LSKP) Ichsanudin Noorsy mengaÂtakan, yang harus diperhaÂtikan pemerintah adalah dampak suÂsulan dari kenaikan harga BBM, yaitu melonjaknya harga pangan dan tarif angkutan umum.
“Dari hitung-hitungan saya, kaÂlau harga BBM naik Rp 1.000, jaÂdinya BBM Rp 7.500. Artinya, maÂsyarakat butuh kenaikan penÂdapatan sebesar Rp 250 ribu,†kata Noorsy kepada
Rakyat MerÂdeka, kemarin.
Nah, jika kenaikan mencapai Rp 3.000 per liter, tinggal dikaliÂkan saja kenaikan gaji yang harus diberikan. Menurut dia, jika peÂmerintah mau memberikan banÂtuan kenaikan pendapatan, tenÂtunya harus menjangkau pada masyarakat yang masuk golongan miskin.
Kendati begitu, Noorsy mengaÂku sangat sulit untuk menentukan golongan miskin karena datanya berbeda-beda.
“Angka kemiskinan mana yang dipakai. Kan beda-beda, harus pakai Jamkesmas (Jaminan KeseÂhatan Masyarakat), bukan di rasÂkin (beras untuk rakyat miskin) atau BLT (Bantuan Langsung Tunai),†ungkapnya.
Noorsy menganggap, yang harus diutamakan pemerintah adalah memberikan bantuan kepada petani. Selain itu, dia juga memÂberikan solusi jangka meÂnengah untuk pemerintah menÂdatang dalam menghadapi polemik BBM.
Caranya, melakukan konversi pembangkit dari BBM ke gas tapi bidang otomotif tetap dibiarkan menggunakan BBM.
“Kita biarkan industri otomotif bermain di BBM, bukan pindah ke gas. Kemudian, prioritas seÂlanjutnya atasi orang miskin,†saran Noorsy.
Analis Woori Korindo SecuÂrities Indonesia (WKSI) Reza Priyambada mengakui, kenaikan harga BBM sudah pasti mendoÂrong inflasi. Karena itu, pemeÂrintah harus punya cara agar kenaikan harga BBM tidak terlalu membebani masyarakat dan memperbesar inflasi.
“Kenaikan BBM mengerek harga bahan pokok. Kalau meÂmang pemerintah mempunyai proÂgram untuk menahan kenaiÂkan harga bahan pokok, imbasÂnya tidak terlalu berpengaruh,†ujarnya.
Deputi Statistik Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statisk (BPS) Sasmito Hadi Wibowo mengÂingatkan dampak kenaikan harga BBM bersubsidi terhadap daya beli buruh di masa depan. Karena itu, kebijakan itu harus diikuti deÂngan naiknya upah tahun depan.
Menurut Sasmito, kenaikan gaji minimal sesuai dengan inÂflasi tahunan. Semakin besar keÂnaikan harga BBM subsidi maka akan makin tinggi pula doroÂngan terhadap inflasi. Karena itu, kenaikan gaji juga perlu disesuÂaikan.
“Kalau perusahaannya mampu, harusnya lebih besar dari inflasi agar daya beli masyarakat meÂningkat dan akhirnya mendorong perekonomian,†ujarnya
Jika BBM subsidi tahun ini diÂnaikÂkan, dampaknya harus diÂtambah realisasi inflasi akhir taÂhun nanti, baru bisa ditetapkan berapa besar kenaikan gaji tahun depan.
“Kalau kenaikan gaji sesuai inflasi, hanya mempertahankan daya beli,†ungkapnya.
Lebih lanjut, Sasmito meneÂgaskan, kewajiban itu harus dilaÂkukan perusahaan, mengingat keÂnaikan BBM subsidi pasti akan menimbulkan kenaikan harga. Jika gaji tidak dinaikkan, keseÂjahteraan buruh bisa menurun dan berpotensi meningkatkan keÂmiskinan di Indonesia.
“Ini juga yang menjadi pemÂbicaraan organisasi buruh inÂternasional,†tandasnya.
Sebelumnya, Wakil Presiden terpilih Jusuf Kalla (JK) meÂngatakan, setiap kali menunda keÂnaikan harga BBM maka pemeÂrintah kehilangan uang unÂtuk subsidi Rp 1 triliun.
“Subsidi 1 hari itu Rp 1 triliun. Setiap kita tunda 1 bulan, berarti ada Rp 30 triliun. Kalau bisa dihemat 50 persen saja, kita bisa hemat Rp 150 triliun dalam setahun pertama,†tandas dia.
Pemerintah ke depan, kata JK, akan menaikkan harga BBM walau waktunya saat ini sedang dipikirkan. ***