Sekretaris Satuan Kerja KhuÂsus Pelaksanaan Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Gde PraÂdnyana mengatakan, ke depan subsidi BBM harus diberikan keÂpada sektor angkutan umum.
Dari kuota BBM subsidi yang ditetapkan pemerintah, kata dia, 53 persennya disedot oleh mobil pribadi, 40 persennya oleh motor, 3 persen persennya oleh angkutan umum, sisanya untuk lain-lain.
â€Subsidi BBM masih tidak teÂpat sasaran,†ujar Gde keÂpada Â
Rakyat Merdeka, kemarin.
Menurut dia, hal ini menjadi peÂkerjaan rumah bagi pemeÂrinÂtahan baru untuk membenahi tata kelola subsidi BBM supaya tepat sasarÂan. Jika pemerintah tetap memÂperÂtaÂhankan pola yang ada seÂkarang, maka keberlangÂsung angkutan umum akan terancam.
Sementara bekas Menteri Perekonomian di era Megawati, Kwik Kian Gie mengaku tidak tahu apakah Pemerintahan JokoÂwi-JK kelak harus menaikkan harga BBM atau tidak.
“Saya tidak bisa mengatakan dengan tegas,†kata Kwik dalam seminar nasional Mencari Harga BBM yang Pantasi Bagi Rakyat Indonesia di Kwik Kian Gie School of Business di Jakarta, kemarin.
Bagi Kwik, jika harga BBM tiÂdak dinaikkan, belum tentu akan memberikan tekanan di APBN. Ia berpendapat, kalau BBM diÂnaikÂkan, tujuannya cuma satu, yakni pemerintah mendapatkan uang lebih untuk tujuan lain.
“Tapi jika dikatakan kalau BBM tidak dinaikkan maka peÂmeÂrintah harus keluar uang baÂnyak sekali yang membuat APBN berat, itu tidak betul,†tegasnya.
Dia mencontohkan, seandainya BBM premium dijual Rp 6.500 per liter, maka pemerintah hanya meÂngeÂluarkan Rp 1,4 triliun saja untuk subsidi. Angka ini sudah tercantum di dalam nota keuangan 2015. “Jadi itu saja. Oleh karena itu, saya tidak bisa mengatakan ada keÂÂharusan menaikkan atau tiÂdak,†cetusnya.
Menurut Kwik, kalau pemeÂrintah merasa perlu menaikkan BBM, membebani orang-orang yang membutuhkan premium kaÂrena uang lebihnya dipakai unÂtuk tujuan-tujuan lain, maka itu urusÂan pemerintah.
Dia juga tidak sependapat jika BBM tidak dinaikkan APBN akan jebol. Menurutnya, di nota keuaÂngan ada sisi pemasukan dan peÂngeluaran. Dalam RAPBN 2015 pada sisi pengeluaran, dari sekian banyak posnya, ada satu pos unÂtuk subsidi BBM dan elpiji taÂbung 3 kilogram dengan jumlah Rp 291,11 triliun. â€Itu yang diÂsebut pemeÂrintah terus,†katanya.
Namun, kata Kwik, pemerintah tidak pernah mau mengatakan atau tak mengerti kalau RAPBN itu juga punya sisi pemasukan.
Jadi, apakah harga BBM tidak perlu naik? Kwik menjawab dipÂlomaÂtis bahwa bisa saja pemeÂrinÂtah beralasan BBM itu perlu naik karena harga jual Rp 6.500 renÂdah. Selain itu, seandainya diÂnaikÂkan sedikit, rakyat masih bisa menjangkau. Kemudian, pemeÂrinÂtah menaikkan Rp 1.000 dengÂan asumsi konsumsi BBM 47 kiloliter, maka akan mendapat Rp 47 triliun. “Kalau mengaÂtaÂkan begitu, itu jujur. Kalau meÂngataÂkan yang sejujurnya mungkin rakyat bisa menerima,†paparnya.
Rektor Kwik Kian Gie School of Business, Anthony Budiawan mengatakan, diperlukan transpaÂransi perhitungan harga keekoÂnoÂmian dan subsidi BBM kemuÂdian dipublikasi sehingga tidak terjadi lagi politisasi BBM.
“Harga BBM selama ini dipoÂlitisasi. Sekarang kita mesti lihat berapa harga yang pantas unÂtuk rakyat,†cetus Anthony.
Menurut dia, jika dilihat dari jenis, kualitas, perbandingan harÂga dengan luar negeri dan terÂutama melihat rakyat IndoÂneÂsia masih memerlukan subsidi, tapi tetap harus dihindari kalau yang tak berkualitas.
Ia mencontohkan premium yang tidak berkualitas tapi harÂganya mahal, maka bisa mengÂgunakan pertamax. “Kita semua harus ganti deÂngan pertamax, itu kalau peÂmeÂrintah berani,†ucap Anthony.
“Daripada menaikkan dengan harga Rp 1.000 premium, lebih baik mensubsidi pertamax. Orang akan bilang itu masuk akal karena mendapatkan kuaÂlitas produk yang lebih bagus,†kaÂtanya. ***