Peneliti Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor ( IPB ) Yudi Wahyudin mengatakan, praktik tambang ilegal berpotensi merugikan negara. Estimasi kerugian semakin membengkak mengingat tambang dan perdagangan ilegal sangat marak.
“Pemerintah berpotensi kehilangan pendapatan pajak dari perdagangan ilegal ini mencapai 105 juta dolar AS,†kata dia. Atau bila dikurskan sekitar Rp 1,15 triliun.
Yudi mencontohkan, perdagangan timah merupakan aset pendapatan negara yang cukup besar. Volume ekspornya mencapai 2,8 miliar dolar AS dengan potensi penerimaan pajak mencapai 280 juta dolar AS.
Untuk pasar Asia Tenggara, kata dia, Indonesia menguasai 40 persen perdagangan timah. Namun, Yudi menyayangkan, persentase yang dinilai masih rendah itu mengingat Indonesia merupakan produsen timah. Dia membandingkan Malaysia dan Thailand yang menguasai 30 persennya. Padahal, keduanya bukan produsen timah. “Betapa luar biasa kebocoran dari perdagangan ilegal di Indonesia,†ucapnya.
Dosen Hakultas Hukum Universitas Sahid Theo Yusuf mendorong pemerintah membubarkan Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (BKDI). Dia meminta pemerintah membentuk BKDI tandingan untuk menghindari monopoli.
Wakil Ketua Komisi VI DPR Erik Satya Wardhana menyesalkan lambatnya tindakan pemerintah masih banyaknya praktik pertambangan ilegal. “Ada kelalaian dari pemerintah dan perusahaan yang tidak konsisten menjalankan peraturan yang ada,†ujarnya.
Ia mengungkapkan, potensi kerugian negara dari praktik pertambangan ilegal hingga triliunan rupiah per tahun karena umumnya pelaku pertambangan ilegal adalah perusahaan tambang besar.
Erik menceritakan, dia bersama 17 anggota DPR lainnya pernah melakukan kunjungan kerja ke Papua. Hasilnya, ditemukan penyimpangan yang dilakukan sejumlah perusahan tambang yang beroperasi tanpa izin. Menurutnya, kebanyakan perusahaan tambang tidak mengindahkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) No.1/2004 tentang perubahan atas UU No.41/1999 tentang Kehutanan.
“Sesuai aturan, semua perusahaan tambang yang beroperasi di hutan lindung harus mempunyai izin pinjam pakai kawasan hutan lindung,†ungkap dia.
Seharusnya, kata Erik, 13 perusahaan tambang yang dibolehkan beroperasi di hutan lindung Papua harus memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan, termasuk PT Freeport. “Semua perusahaan harus memiliki izin,†tegasnya.
Namun, dari 13 perusahaan itu baru dua perusahaan yang sudah memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan.
“Ini sangat janggal, sehingga kita sinyalir operasional yang dilakukan perusahaan tambang tersebut ilegal tanpa izin dan berpotensi merugikan negara,†tegasnya.
Berbagai pihak menilai, pelaku penambang ilegal ini termasuk mafia. Karena mereka bisa mengendalikan bisnis tambang secara gelap dengan mengangkangi aturan pemerintah. Mereka ini punya jaringan di luar negeri.
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Susilo Siswoutomo mengklaim instansinya sangat serius menertibkan penambangan ilegal. Salah satu caranya dengan mewajibkan perusahaan tambang memiliki sertifikasi Clean and Clear (CnC).
“Itu memang usaha kita yang serius untuk hentikan illegal mining karena kerugian negara yang besar,†ujarnya.
Susilo menjelaskan, sertifikasi tersebut merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi pelaku usaha tambang. Hal itu merupakan tata tertib administrasi dan wilayah tambang agar tidak mengalami tumpang tindih. “Kalau tidak punya CnC maka secara hukum tidak memenuhi syarat,†katanya.
Selain itu, pihaknya juga akan mempercepat renegosiasi Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) agar tidak semakin banyak praktik pertambangan ilegal. Bahkan, percepatan tersebut akan ditargetkan selesai akhir September 2014. â€Artinya, hal-hal yang bisa diselesaikan secepatnya termasuk penanganan IUP, CnC, butuh waktu dan saya sudah minta masing-masing kabupaten untuk mengkaji kembali,†pungkas Susilo. ***