“Pemberlakuan izin ekspor kepada Freeport oleh pemerintah terkesan sangat dipaksakan. Apalagi kesiapan Freeport untuk membangun pabrik smelter yang diharuskan Undang-Undang Minerba masih belum maksimal,†ujar Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan.
Mamit mensinyalir, diperbolehkannya perusahaan tambang asal Amerika ini untuk melakukan ekspor karena pemerintah mendapatkan tekanan dari asing dan pemerintah sekarang harus memberikan kesan baik kepada asing.
Dia menilai, akibat kebijakan itu akan berdampak terhadap pemerintahan yang baru yang sulit untuk melakukan renegosiasi kepada Freeport. Akibatnya, pemerintahan yang akan datang bakal mengalami kerugian yang besar.
Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (Iress) Marwan Batubara mengatakan, Pemerintah Indonesia memang tunduk terhadap kepentingan asing terkait dengan diperbolehkannya Freeport melakukan ekspor.
Menurut dia, selama ini pemerintahan demi pemerintahan selalu tunduk atas kepentingan asing, terutama dalam sektor tambang. Semestinya sektor itu tidak boleh diintervensi, Makanya diperlukan nasionalisme yang kuat untuk mengelola sumber daya alam (SDA) Indonesia saat ini.
“Saya tidak yakin pemerintahan selanjutnya bisa terbebas dari intervensi asing. Selama ini pemerintahan yang berkuasa di Indonesia selalu tunduk atas kepentingan asing,†ujar Marwan.
Menurut dia, pemerintah tidak konsisten menerapkan Undang-Undang Minerba. Ketidakkonsistenan tersebut dapat dilihat dari Peraturan Pemerintah (PP) No 1/2014 dan Peraturan Menteri (Permen) ESDM No 1/2014, yang tidak sejalan dengan Undang-Undang Minerba.
Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM R Sukhyar menjelaskan, diberlakukannya izin ekspor kepada Freeport melalui proses renegosiasi harus menempuh proses yang sangat panjang.
Sukhyar menilai, proses renegosiasi yang dituangkan dalam Memorandum of Understanding (MoU) merupakan jembatan sebelum tanda tangan amandemen kontrak.
“Ini (MoU) tidak mendadak. MoU sudah melalui proses yang panjang. Mana kala tidak selesai maka diantarkan ke pemerintahan mendatang. Yang penting itu amandemen kontrak,†kilah Sukhyar.
Pihaknya berjanji, pemerintah akan mengevaluasi pembangunan smelter Freeport setiap enam bulan sekali. Dalam setiap enam bulan tersebut, pembangunan pabrik harus mencapai 60 persen. Jika tidak maka izin ekspor Freeport akan dicabut dan Surat Persetujuan Ekspor (SPE) juga akan dicabut oleh pemerintah. ***