Anggota DEN Rinaldy Dalimi mengatakan, selama ini pemerintah memberi penugasan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero). Padahal, kedua perusahaan tersebut memiliki orientasi terhadap bisnis.
“Membagi otak untuk dua aktivitas tentu sulit. Seharusnya pemerintah siapkan badan khusus yang berkaitan pada produk energi bersubsidi,†ulasnya di Jakarta, kemarin.
Menurut Rinaldy, BUMN sektor energi seharusnya fokus dalam pengembangan sumber daya energi yang bisa dimaksimalkan dengan menciptakan paradigma pembangunan nasional. Namun, selama ini paradigma pemerintah dalam pengelolaan energi masih berkutat terhadap penerimaan negara dan bisnis.
Rinaldy mencontohkan, Pertamina sebagai penyedia produk hilir BBM dan gas.
Perusahaan itu memiliki tanggung jawab untuk menggelontorkan BBM bersubsidi ke masyarakat. Akibatnya, fokus kinerja perusahaan terbebani dengan adanya penyediaan BBM bersubsidi yang harus mengikuti kebijakan pemerintah.
Selain itu, kata dia, peran BUMN sektor energi juga melibatkan sejumlah Kementerian. Setidaknya ada tiga Kementerian yang ikut memberi andil terhadap kebijakan Pertamina ataupun PLN.
“Bayangkan, Pertamina dan PLN itu saja ada tiga kementerian terlibat yakni Kementerian BUMN, Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan. Otomatis bentuk bisnis yang dijalankan sebagai BUMN juga perlu memperhatikan aspek dari kementerian lain,†terang dosen UI ini.
Untuk itu, dia menyarankan kepada pemerintah agar membuat badan entitas baru yang fokus dalam penjualan produk energi bersubsidi.
Selain itu, untuk mengurangi beban subsidi energi, DEN sedang merampungkan Kebijakan Energi Nasional (KEN) dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP). “KEN saat ini tinggal menunggu tanda tangan presiden,†ungkapnya.
Rinaldy mengatakan, setelah KEN ditanda tangani akan disusun Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Dalam KEN dan RUEN tersebut isinya mewajibkan harga BBM subsidi saat ini dinaikkan ke harga keekonomian.
Ia mengatakan, KEN yang didalamnya mensyaratkan kenaikan harga BBM subsidi wajib diikuti atau dilaksanakan oleh pemerintah.
“Itu wajib dilakukan pemerintah. Jika sudah ditanda tangani presiden, maka akan berlaku mulai 2015. Artinya, presiden baru wajib menaikkan harga BBM subsidi mengarah ke harga keekonomian,†jelasnya.
Anggota Komisi VII DPR Satya W Yudha mengatakan, seharusnya tahun ini sudah tidak ada lagi subsidi BBM sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2009-2014. Namun, kenyataannya subsidi BBM tahun 2014 mencapai Rp 246,5 triliun.
Menurut Satya, sejak 2009 sudah direncanakan bagaimana mengurangi anggaran subsidi BBM dengan menaikkan harga secara bertahap. Dengan demikian, tahun ini harganya sudah mencapai harga keekonomian.
Namun, politisi Golkar itu menyayangkan amanat RPJMN tersebut tidak dijalankan pemerintah.
“Dalam lima tahun terakhir, anggaran subsidi BBM justru terus meningkat hingga mencapai Rp 246,5 triliun tahun ini,†ungkapnya.
Akibat tidak konsistennya pemerintah, negara masih akan dibebani anggaran subsidi yang besar. Bahkan, menurut Satya, subsidi energi 2015 sebesar Rp 443,5 triliun. Sementara untuk subsidi energi saja Rp 363,5 triliun.
Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Askolani membantah pemerintah menjebak presiden baru untuk menaikkan harga BBM subsidi.
“Saya bilang sesama pemerintah nggak ada menjebak. Sesama pemerintah ingin membawa kebaikan,†klaimnya.
Dia juga menegaskan, tidak ada niat pemerintah untuk menjebak pemerintah baru. Faktanya, sampai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P), pemerintah tetap bertanggung jawab.
Sebelumnya, Menko Perekonomian Chairul Tanjung menolak berkomentar soal desakan dinaikkan harga BBM subsidi di akhir Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. ***