Tanpa Persiapan Infrastruktur, Mustahil Pengalihan BBM Ke Gas Berjalan Mulus

Cadangan Minyak Nasional Ditaksir Tinggal 12 Tahun Lagi

Senin, 18 Agustus 2014, 09:14 WIB
Tanpa Persiapan Infrastruktur, Mustahil Pengalihan BBM Ke Gas Berjalan Mulus
ilustrasi
rmol news logo Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengakui konversi bahan bakar minyak (BBM) ke bahan bakar gas (BBG) tidak berjalan lancar. Alasannya, masih banyak kendaraan yang belum memakai converter kit dan minimnya infrastruktur.

“Konversi jalan tapi tidak mulus, konversi ke gas sudah mulai,” ujar Menteri ESDM Jero Wacik.

Menurut Wacik, konversi BBM ke BBG adalah langkah untuk mengurangi konsumsi BBM bersubsidi. Karena itu, pemerintah harus berkorban banyak berinvestasi untuk menjalankan rencana tersebut.

Dia mencontohkan, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dalam melakukan produksi mobil, tidak bisa serta merta menyetop beberapa produksi mobil.

“Harus ada pengorbanan di sana-sini, kalau kita rem di sini korban di situ, lapangan kerja tetap harus tumbuh,” tuturnya.

Wacik menilai, dengan adanya pengurangan konsumsi BBM bersubsidi, angka kemiskinan dan pengangguran tidak boleh naik. Karena itu, dibutuhkan kemandirian di dalam sektor energi agar perekonomian tetap maju.

“Lapangan kerja tetap harus tumbuh, makanya semuanya harus dibenahi,” ucap dia.

Selain converter kit, lanjut Wacik, ketersediaan infrastruktur yang minim juga menjadi masalah signifikan perkembangan konversi BBM ke BBG. Sejauh ini, infrastruktur untuk konversi seperti Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) jumlahnya masih sedikit.

Ketua Percepatan Konversi BBM Ke BBG Kementerian ESDM Wiraatmaja Puja mengatakan, dari 29 SPBG yang sudah ada di Indonesia, hanya 15 SPBG yang sudah beroperasi.

Menurut Puja, masih minimnya SPBG di Indonesia yang sudah beroperasi karena mengalami berbagai permasalahan, seperti perizinan pemerintah daerah.

“Izinnya ada masalah, gasnya belum masuk, ada berbagai masalah, ada banyak kendalanya. Misalnya di Gresik izin dari pemda belum,” ungkap dia.

Pakar energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Deendarlianto mengatakan, pemerintah perlu segera mematangkan lagi rencana konversi BBM ke BBG.

“Apabila terealisasi, konversi BBM ke BBG akan menguntungkan dari sisi ekonomi maupun sisi perlindungan energi nasional,” harapnya.

Menurut dia, konversi BBM ke BBG perlu segera direalisakan karena cadangan minyak bumi di Indonesia juga terbatas.

“Bayangkan saja, cadangan minyak bumi kita tinggal 12 tahun lagi. Sementara bahan bakar gas masih sampai 59 tahun,” bebernya.

Deendarlianto mengatakan, untuk segera merealisasikan konversi bahan bakar tersebut, kesiapan infrastruktur penunjang perlu secara serius dilakukan.

Misalnya, ketersediaan converter kit dan bengkel yang dapat melakukan pengkonversian ke BBG tidak boleh ditunda lagi.

Sementara langkah tersebut juga masih memerlukan sosialisasi yang masif kepada masyarakat karena masih banyak yang belum paham.

“Saya kira realisasi konversi BBM ke BBG yang lebih penting adalah meyakinkan konsumen bahwa BBG aman,” katanya.

Subsidi Langsung

Fraksi Partai Golkar DPR mengusulkan pemerintahan mendatang memberikan subsidi BBM secara langsung kepada masyarakat kecil yang berhak.

Anggota Fraksi Partai Golkar Dito Ganinduto mengatakan, subsidi khususnya BBM telah menjadi permasalahan besar dalam postur APBN setiap tahun.

“Kami dari Fraksi Partai Golkar akan memperjuangkan subsidi tidak lagi pada harga, namun diberikan langsung kepada masyarakat kecil yang berhak,” katanya.

Pada RAPBN 2015, subsidi BBM dan listrik dialokasikan Rp 363,5 triliun, sementara APBN Perubahan 2014 ditetapkan Rp 454 triliun.

Menurut Dito, pemerintahan mendatang tidak boleh lagi tersandera pada subsidi BBM yang terlalu besar. Anggaran negara harus benar-benar efektif digunakan bagi peningkatan kesejahteraan rakyat.

Dengan penghematan subsidi dari kenaikan harga BBM yang bisa mencapai ratusan triliun rupiah, maka pemerintahan mendatang bisa leluasa mengalokasikan anggaran untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Ia juga mengatakan, kenaikan harga BBM subsidi bisa dilakukan pada kisaran Rp 8.000-9.000 per liter dari harga saat ini Rp 6.500 per liter. Kenaikan harga BBM tersebut bisa dilakukan dalam dua opsi yakni sebagian pada pemerintahan saat ini dan sisanya pemerintahan mendatang atau seluruhnya pada pemerintahan mendatang secara bertahap.

Menurut Dito, selama ini subsidi BBM telah salah sasaran karena sebagian besar dinikmati masyarakat yang tidak berhak seperti pengguna mobil pribadi. Segala bentuk pengendalian pemakaian BBM subsidi sudah dicoba dilakukan pemerintah dalam 10 tahun terakhir, namun tidak berjalan.

 Ke depan, lanjutnya, subsidi mesti diberikan secara langsung melalui sistem kupon dengan besaran dana tertentu setiap bulannya kepada masyarakat kecil.

”Pemerintah bisa memakai data masyarakat kecil dari BPS atau pelanggan PLN yang golongan kecil yakni 450 Volt Ampere,” ujarnya.

Selain itu, pemerintah juga mesti memberikan kompensasi kenaikan harga BBM kepada transportasi umum, usaha mikro, kecil dan menengah serta nelayan.  ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA