Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) Sofyano Zakaria mengatakan, PLN harus mencari pasokan solar lain di luar Pertamina. Apalagi, selama ini PLN tidak membeli 100 persen solar dari Pertamina.
Menurut dia, pengurangan pasokan solar ke PLN oleh Pertamina hendaknya tidak disikapi PLN dengan melakukan pemadaman listrik.
“Itu bukan solusi yang bijak dan bukan solusi yang cerdas,†ujarnya kepada
Rakyat Merdeka, kemarin.
Menurut Sofyano, jika terbukti ada pemadaman listrik akibat pengurangan pasokan solar oleh Pertamina, ini bisa dinilai publik sebagai sikap melemparkan kesalahan kepada Pertamina.
PLN sebagai BUMN energi yang memonopoli penyediaan listrik bagi rakyat, lanjut dia, mestinya bijak menyikapi polemik harga jual beli solar dengan Pertamina dan mementingkan keberpihakan kepada masyarakat.
Karena itu, Sofyano menyarankan PLN mau berkorban demi kepentingan masyarakat dengan bersedia mengurangi perolehan laba usahanya dengan membeli solar dari Pertamina sesuai hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Dia menambahkan, jika dapat dibuktikan dengan harga solar yang ditawarkan Pertamina membuat PLN rugi atau tidak sanggup secara finansial melakukan itu, harusnya pemerintah mensubsidi PLN atas selisih harga yang tidak sanggup dibayar perseroan.
Presiden Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu Ugan Gandar mengatakan, perselisihan PLN dan Pertamina harus diselesaikan dengan sistem bisnis.
“Jangan pakai jalan yang aneh-aneh. Inilah faktor yang menyebabkan berlarut-larutnya penyelesaian antara PLN dengan Pertamina,†cetusnya.
Kepala Divisi Bahan Bakar Minyak dan Gas PLN Suryadi Mardjoeki sebelumnya mengaku, pihaknya telah menyepakati harga solar yang baru sesuai dengan permintaan Pertamina sebesar 109,5 persen dari Mean of Plats Singapore (MOPS). Namun, kesepakatan harga tersebut hanya untuk periode Juli hingga Desember 2014.
“Kami sudah mengeluarkan surat bahwa PLN setuju dengan harga yang diajukan Pertamina untuk semester dua dan berlaku mulai Juli,†katanya.
Namun, perubahan harga solar masih menyisakan ganjalan. Sebab, Pertamina sebenarnya menginginkan kontrak dengan harga baru tersebut dimulai dari Januari 2013 hingga 2015.
Kenaikan TDL Kerek InflasiTidak bisa dimungkiri bahwa kenaikan tarif dasar listrik (TDL) dan harga BBM akan mengerek tingkat inflasi. Apalagi jika kenaikan itu membikin heboh di masyarakat, tentu tingkat inflasinya akan melambung tinggi.
Direktur Pengkajian Energi Universitas Indonesia (UI) Iwa Garniwa melihat inflasi akibat naiknya TDL sebuah keniscayaan. Pasalnya, tidak ada yang mampu menahan ketika tarif listrik dinaikkan harga barang-barang juga ikut naik. Itu sudah otomatis.
Justru yang mesti diperhatikan, kata Iwa, soal efektif atau tidaknya kenaikan TDL itu bertujuan untuk mengurangi subsidi.
“Inflasi naik lagi, itu sudah pasti naik. Yang penting efektivitasnya, pengurangan subsidinya harus masuk ke masyarakat dalam pembangunan ekonomi atau infrastruktur,†ujarnya, kemarin.
Pernyataan Iwa ini menanggapi pengumuman Badan Pusat Statistik (BPS) terkait inflasi Juli 2014, Senin (4/8). ***