Bulan Puasa 2014, Kondisi Petani Tanaman Pangan dan Hortikultura Masih Suram

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Selasa, 05 Agustus 2014, 13:23 WIB
rmol news logo Bulan puasa tahun ini rupanya belum menjadi berkah bagi petani tanaman pangan dan hortikultura.

Hal ini tergambar jelas dalam laporan bulanan Nilai Tukar Petani (NTP) bulanan dari Badan Pusat Statistik per 4 Agustus 2014.

Setelah naik pada bulan Juni sebesar 98,22, NTP tanaman pangan mengalami penurunan selama bulan Juli (98,04). Kedua nilai NTP itu  meski stabil di bawah 100, menunjukkan rendahnya kesejahteraan petani tanaman pangan. Nasib yang sama juga dialami oleh petani hortikultura.

Sementara itu, tingkat kenaikan harga atau inflasi pedesaan pada bulan Juni hingga Juli masing-masing sebesar 0,72 dan 0,82. Di samping itu, harga penjualan gabah kering petani (GKP) dan gabah kering giling (GKG) pada bulan Juli juga mengalami penurunan.

"Rata-rata harga GKP sebesar Rp 4097,92 per kg dan harga GKG sebesar Rp 4171,76," kata Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih dalam keterangan tertulisnya yang diterima redaksi, Selasa (5/8).

Peningkatan konsumsi dua subsektor pertanian diakuinya memang meningkat, terkhusus di bulan puasa Ramadhan, namun sayangnya dibarengi dengan peningkatan harga kebutuhan hidup, khususnya di pedesaan.

Menurutnya, tren tersebut menjadi bukti kehidupan petani tanaman pangan dan hortikulra masih cukup suram. Oleh karena itu, menjadi suatu kewajaran jika selama 10 tahun terakhir (2003-2013) rumah tangga pertanian menurun sebanyak 5,04 juta keluarga tani dari 31,17 juta keluarga per tahun 2003, menjadi 26,13 juta keluarga per tahun 2013.

"Kondisi ini menjadi PR berat bagi presiden pemenang Pilpres 2014 untuk mencerahkan masa depan petani tanaman pangan melalui penerapan UU 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pangan Berkelanjutan dan Program Pembaruan Agraria Nasional yang akan membagi 9,2 juta hektar lahan kepada petani kecil," kata Henry, Selasa (5/08).

Sementara itu, penurunan NTP tanaman hortikultura lebih disebabkan oleh turunnya harga sayur-sayuran, khususnya harga cabe yang berkisar Rp 2 ribu - Rp 4 ribu di tingkat petani pada awal-awal bulan Juli. Hal ini juga jadi PR berat bagi presiden pemenang Pilpres 2014 untuk menciptakan iklim usaha pertanian dan perdagangan hasil pertanian  yang kondusif dan memberi keuntungan bagi petani.

Tidak saja dari sisi pengendalian harga baik karena pada saat panen atau gagal panen maupun pada saat godaan impor pangan," imbuhnya.

Henry menambahkan, menjadi hal yang sangat baik bila pemerintah mengambil pelajaran dari India yang dengan gigih mempertahankan subsidi pangan dan membuat perundingan menjadi gagal pada sidang WTO 31 Juli kemarin.[wid]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA