“Setidaknya ada tiga unsur yang harus dipenuhi dalam royalti yakni harga, kadar dan volume,†ujar pakar hukum pertambangan dari Universitas Hasanuddin Makassar Abrar Saleng, kemarin.
Menurut dia, jika tiga unsur tersebut sudah terpenuhi, harga naik, kadar bagus dan volume tetap, maka kenaikan royalti bukan masalah dan sesuatu yang wajar. Akan menjadi bumerang ketika royalti dinaikkan, tapi dari sisi harga, misalkan, masih rendah. “Jangan royalti dinaikkan, tetapi usaha batubara justru tidak berjalan,†ucapnya.
Karena itu, kata Abrar, dibutuhkan keseimbangan dan kebijaksanaan dari pemerintah. Kalau memang royalti dinaikkan, itu dilakukan saat harga batubara sedang bagus. Namun yang terjadi selama ini berbeda. Saat harga batubara bagus, royalti justru tidak dinaikkan. Tapi ketika harga sedang anjlok, muncul keinginan untuk menaikkan royalti.
Dia mengatakan, selain keseimbangan dari tiga unsur tersebut, hal lain yang cukup penting terkait kebijakan kenaikan royalti atau kebijakan lainnya adalah soal transparansi. Pemerintah harus mengungkapkan dengan jelas apa yang menjadi dasar kenaikan tersebut. Dengan begitu, para pelaku industri bisa memahami, sehinga kebijakan yang dikeluarkan tidak merugikan pelaku usaha.
Ketua Sumber Daya Alam Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Singgih Widagdo mengatakan, royalti sebenarnya ringkasan dari tiga aspek yakni
social cost, enviromental cost dan
economic cost.Ketika pemerintah menunda rencana kenaikan royalti, hal itu hanya terkait satu aspek saja yakni
economic cost, karena harga batubara sedang jatuh. Sementara dua aspek lainnya belum diperhatikan. Padahal, kegiatan pertambangan tidak bisa dilepaskan dari semua aspek tersebut, termasuk lingkungan dan sosialnya. ***