Daya Saing Industri TPT Turun Indonesia Kalah Sama Vietnam

Akibat Antar Kementerian/Lembaga Jalan Sendiri-sendiri

Jumat, 02 Mei 2014, 09:18 WIB
Daya Saing Industri TPT Turun Indonesia Kalah Sama Vietnam
ilustrasi, Daya Saing Industri
rmol news logo Belum terintegrasinya antar kementerian/lembaga (K/L) dinilai menjadi penyebab belum efektifnya penerapan supply chain atau rantai pasok. Padahal, penerapan itu diperlukan untuk meningkatkan daya saing industri baik di pasar domestik maupun internasional.

“Rantai pasok lemah karena antar kementerian berjalan sendiri-sendiri. Harusnya ada koordinasi satu sama lain,” ujar peneliti senior Core of Reform on Economic (Core) Indonesia Mohammad Faisal.

Ia mencontohkan kasus industri tekstil dan produk tekstil (TPT) yang dalam satu dekade terakhir cenderung mengalami penurunan daya saing. Bahkan, jumlah tenaga kerja di sektor ini mengalami penurunan.

“Jumlah tenaga kerja yang bekerja di industri TPT hanya 1,66 juta. Berkurang dibanding tahun 2006 yang mencapai 1,79 juta orang padahal diharapkan bisa menyerap banyak tenaga kerja,” tuturnya.

Di sektor ini, kata Faisal, pertumbuhan ekspornya cenderung lambat. Rata-rata hanya 10 persen per tahun antara 2005-2011, jauh lebih lambat dibanding negara pesaing seperti Vietnam dan Bangladesh yang per tahunnya tumbuh lebih dari 30 persen serta China 18 persen pada periode yang sama.

“Tak heran Vietnam sekarang melampaui Indonesia dari segi ekspor pakaian jadi,” ujarnya.

Faisal mengatakan, ada beberapa permasalahan yang menggeluti industri TPT Indonesia yang mempengaruhi efisiensi rantai pasok industri ini. Pertama, keterbatasan infrastruktur seperti jalan, pelabuhan, armada kapal dan lain-lain yang mengakibatkan ongkos logistik yang tinggi. Selain itu, manajemen waktu bongkar muat lama, waktu distribusi panjang dan terbatasnya konektivitas antar wilayah.

Kedua, pasokan bahan baku yang terbatas dan masih tergantungya terhadap pasokan impor. Keterbatasan bahan baku serat menyebabkan impor bahan baku serat naik hingga 66 persen.

Ketiga, produktivitas tenaga kerja. Menurut Faisal, penyerapan tenaga kerja masih didominasi pendidikan menengah ke bawah (66 persen lulusan SD dan SLTP).

“Rendahnya tingkat pendidikan mengakibatkan produktivitas tenaga kerja kita lebih rendah dibanding negara tetangga seperti Singapura, Malaysia dan Thailand,” ungkap dia.

Guru Besar Universitas Padjajaran (Unpad) Ina Primiana Syinar mengimbau kementerian/lembaga sebagai koordinator tidak berjalan sendiri-sendiri. Hal ini perlu dilakukan agar kebutuhan pelaku ekonomi dan infrastruktur yang dibangun bisa sejalan.

“Belum efektifnya penerapan rantai pasok dikarenakan belum terintegrasinya antar kementerian/lembaga. Akibatnya, ini menekan profit dan daya saing industri nasional,” katanya.

Menurut dia, perbaikan pada rantai pasok bisa dilakukan dengan memperbaiki sistem pelabuhan dan transportasi. Jika itu dilakukan akan mengurangi biaya logistik hingga 40 persen.  ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA