Patut Dicurigai Mengapa AS Belum Ratifikasi FCTC

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Kamis, 10 April 2014, 18:45 WIB
Patut Dicurigai Mengapa AS Belum Ratifikasi FCTC
foto:net
rmol news logo Pemerintah diminta untuk berpikir rasional sebelum mengambil suatu kebijakan, termasuk soal ratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Pasalnya, Amerika Serikat yang secara sistem kesehatan sudah mapan, hingga saat ini juga belum meratifikasi FCTC yang didorong World Health Organization (WHO).

"Sampai saat ini Amerika Serikat juga belum ratifikasi FCTC, pemerintah harus jernih melihat sikap Amerika itu. Pemerintah harusnya mendesak Amerika ratifikasi, bukan sebaliknya ngotot meratifikasi, antar kementerian saja masih berbeda pendapat," tegas Guru Besar Hubungan Internasional, Hikmahanto Juwana kepada wartawan di Jakarta, Kamis (10/4).
 
Dia menegaskan, seyogyanya diselidiki dulu negara mana saja yang memulai dan merancang FCTC. Termasuk menyelidiki kemungkinan negara tersebut memiliki kepentingan agar masyarakat terhindar dari bahaya tembaka atau industri dalam negerinya tidak terganggu mengingat persaingan dari negara penghasil tembakau seperti Indonesia.

"Jangan  sampai kedaulatan negara dikompromi dengan kepentingan negara lain," tambahnya.

Ia menilai, selama ini pemerintah cenderung terlalu naif dalam melihat perjanjian internasional, termasuk FCTC. Pemerintah selalu berpikir jika meratifikasi akan meningkatkan citra Indonesia di mata dunia internasional sekaligus masalah di dalam negeri langsung tuntas.

"Padahal perjanjian internasional,seringkali menjadi pengganti kolonialisme baru yang merugikan negara lain. Menciptakan ketergantungan ekonomi. FCTC ini kan dimunculkan didesak oleh negara maju," terang dia.

Dari sisi ekonomi, tenaga kerja, dan pendapatan negara, sebetulnya semua aturan FCTC sama sekali tidak berpihak pada Indonesia.

"Jangan bermimpi dengan ratifikasi segala sesuatu akan lebih baik, tidak menjamin. Yang selama ini ada setelah ratifikasi tak ada tindak ada lanjutnya dari pemerintah," tegasnya.

Dengan ratifikasi Indonesia akan dituntut dari waktu ke waktu untuk memenuhi kewajibannya dalam perjanjian internasional. Padahal, Indonesia memiliki kelemahan dalam menterjemahkan ketentuan dalam perjanjian internasional ke dalam hukum nasional. UN Convention on Anti Corruption yang telah diratifikasi Indonesia sejak tahun 2006 hingga saat ini belum diterjemahkan dalam UU Tindak Pidana Korupsi.

Ia mengingatkan, kejadian AS dan Australia menyadap percakapan penting pejabat Indonesia terkait sengketa keberlangsungan pabrik rokok kretek menjadi bukti AS ingin menjatuhkan industri rokok kretek nasional. Hal tersebut, terungkap setelah data penyadapan National Security  Agency (NSA) alias Badan Keamanan Nasional Amerika Serikat (AS) atas Biro Hukum Mayern Brown dibocorkan oleh mantan kontraktor NSA, Edward Snowden.

Untuk diketahui, Mayer Brown adalah penasehat hukum  RI di World Trade Organization (WTO) dalam sengketa ekspor rokok kretek ke Amerika Serikat. Dengan mengetahui strategi Mayern Brown,  maka tim legal  Amerika bisa menyusun strategi agar menang melawan Indonesia  dalam di sidang di WTO. Kalau menang, AS bisa leluasa menjalankan UU anti-rokok kretek di negerinya.[wid]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA