Ketua Umum
Indonesian National Shipowners Association (INSA) Carmelita Hartoto mengatakan, masalah yang merundung pelayaran mencakup pajak yang memberatkan, tarif kepelabuhanan yang terus meningkat, aturan teknis yang belum setara dengan negara lainnya hingga tumpang tindih kewenangan dalam penegakan hukum di laut (
Sea and Coast Guard).
Menurut dia, jika selama masalah-masalah tersebut tidak segera diatasi oleh negara, pihaknya pesimis industri pelayaran nasional dapat bersaing pada AEC 2015.
“Mengapa kita tidak mengadopsi negara lainnya di mana mereka sudah memberikan semua insentif yang dibutuhkan bagi pelayaran. Bukankah itu akan lebih cepat,†usul Carmelita di Jakarta, kemarin.
Insentif fiskal misalnya, sudah lebih dua tahun diperjuangkan oleh sektor pelayaran, tetapi belum ada realisasinya. Termasuk penghapusan pajak pertambahan nilai (PPN) atas bongkar muat barang pada jalur perdagangan luar negeri dan PPN atas pembelian BBM kapal hingga kini belum diberikan pemerintah.
Berdasarkan catatan INSA, sejumlah kebijakan perpajakan hingga kini masih banyak yang memberatkan sektor pelayaran, bahkan kebijakan tersebut tidak lazim diterapkan di negara lain di dunia. Sehingga, daya saing pelayaran nasional pada angkutan luar negeri menjadi rendah.
Sejumlah PPN yang menurunkan daya saing nasional itu antara lain pengenaan PPN 10 persen atas impor kapal jenis
floating crane akibat adanya perbedaan persepsi. Satu kementerian menyatakan
floating crane termasuk kapal sehingga bebas PPN, tetapi kementerian lain mendefinisikan bukan sebagai kapal sehingga menjadi objek PPN. Selain itu, pengenaan PPN 10 persen juga dikenakan atas kegiatan bongkar muat barang/container pada jalur pelayaran internasional dan pengenaan PPN 10 persen atas pembelian BBM.
“Bulan lalu, dokumen aturan penghapusan PPN ini kabarnya sudah di meja Presiden, tetapi sampai hari ini belum ada indikasi akan segera terbit, padahal kita sudah menunggu dua tahun,†ungkap Carmelita.
INSA juga memerlukan kepastian mengenai pembentukan Badan
Sea and Coast Guard yang hingga kini terkatung-katung, padahal UU Pelayaran mengamanatkan badan ini sudah terbentuk paling lambat tiga tahun.
“Bagaimana kita bisa bicara biaya logistik murah, belum lagi infrastruktur yang belum terbangun dan tarif-tarif kepelabuhanan yang terus meningkat, sementara semua itu menjadi beban biaya ongkos angkut dalam satu ke satuan biaya pelayaran. Padahal biaya
riil untuk pelayaran saat ini hanya 30 persen, tapi kita harus menanggung biaya crew, BBM, biaya maintenance, kewajiban membayar pinjaman ke bank,†katanya. ***